Kamis, 15 Januari 2009

Keajaiban Doa Ibu

Oleh : Fariq Gasim Anuz

Ketika saya sedang duduk di ruang kerja di kantor Islamic Center di Jeddah, Saudi Arabia di penghujung bulan Dzulhijjah 1429 H atau di akhir bulan Desember 2008 M, masuklah seorang anak remaja dengan mengenakan gamis, kopiah dan sorban merah sambil mengucapkan salam.

Setelah saya berkenalan dengannya ternyata dia adalah keponakan salah seorang pengurus dan relawan di kantor Islamic Center yaitu ustadz Muhammad Ash Shubhi yang datang ke kantor tiap hari Jumat untuk memberikan ceramah kepada para mu’allaf yang berasal dari Philpina. Nama anak tersebut Muadz Ash Shubhi berumur 17 tahun dan masih duduk di kelas 2 SMA.

Tampak dari anak tersebut wibawa dan penuh kedewasaan, saya tinggalkan pekerjaan saya dan duduk menemani Muadz untuk mengenal dia lebih jauh lagi. Ternyata dia telah selesai menghapal Al Quran 30 Juz, dan sekarang dia rajin mengulang hapalannya agar tidak lupa dan hilang. Ia terkadang mengimami shalat berjamaah di Masjid dekat rumahnya jika imam terlambat atau berhalanagan hadir. Dia juga aktif berperan sebagai mu’adzin di masjid tersebut sejak umur 14 tahun. Hanya saja terakhir ini pengurus masjid menggantikannya dengan mu’adzin dari orang dewasa dengan alasan dia masih anak-anak dan menjanjikan kepadanya jika telah selesai sekolah maka dia bisa menjadi mu’adzin lagi.

Saya memberikan kesempatan kepadanya untuk berbicara lebih banyak, diantara hal yang menarik dari pembicaraan Muadz yaitu ketika dia bercerita tentang masa kecil Syaikh Doktor Abdul Aziz Fauzan Al-Fauzan.

“Ketika itu, orang tuanya memiliki banyak kambing dan anak-anaknya mendapatkan tugas untuk menggembalakan kambing secara bergantian sepulang mereka dari sekolah. Hari ini bagian Muhammad kakaknya, keesokan harinya giliran Abdul Aziz dan besoknya lagi giliran adiknya. Saat giliran adiknya bertugas untuk menggembalakan kambing maka adiknya datang kepada ibunya sambil menangis dan berkeberatan untuk menggembalakan kambing. Karena merasa kasihan kepada anaknya yang paling kecil maka si ibu menyuruh kakaknya yang paling besar yaitu Muhammad untuk menggembalakan kambing. Kakaknya menolak dengan alasan bahwa dia sudah menjalankan kewajibannya 2 hari yang lalu. Maka si ibu menyuruh Abdul Aziz untuk menggembalakan kambing, Abdul Aziz menuruti permintaan ibunya dan tidak membantahnya. Keesokan harinya giliran kakaknya yang tertua bertugas menggembalakan kambing, maka kakaknya datang kepada ibunya sambil menangis pula berkeberatan untuk mengembalakan kambing. Si ibu menyuruh Abdul Aziz lagi untuk menggembalakan kambing. Abdul Aziz menjalankan perintah ibunya tanpa membantah sedikitpun. Akhirnya setiap hari Abdul Aziz menggembalakan kambing milik orang tuanya.”

Syaikh Abdul Aziz merasakan banyak sekali kemudahan yang Allah berikan kepadanya dan beliau berpendapat di antara sebabnya adalah bakti seorang anak dan doa kedua orang tuanya.

Kisah yang diceritakan Muadz sangat berkesan dihati saya, cerita tersebut mengingatkan saya kepada ucapan Profesor Doktor Abdul Karim Bakkar dan Profesor Doktor Shalih Al Ayid dalam bukunya.

Profesor Doktor Abdul Karim Bakkar berkata,

"Sesungguhnya doa kedua orangtua untuk anak-anaknya ada dua macam, ada yang disebabkan rasa iba dan kasihan, hal ini dilakukan oleh kedua orang tua meskipun anak-anaknya kurang berbakti kepada mereka. Ada lagi doa dari orang tua diucapkan dari lubuk hati yang paling dalam, doa tersebut merupakan ungkapan rasa senang, puas, ridha dan kagum kepada perbuatan dan bakti anak mereka, doa yang seperti inilah yang lebih pantas untuk dikabulkan oleh Allah.”

(50 Lilin Untuk Menerangi Jalan Hidup Kalian)

Profesor Doktor Shalih Al Ayid berkata,

"Sesungguhnya doa ibu tidak mungkin meleset, ibuku -semoga Allah merahmatinya- selalu ridha terhadap anak-anaknya dan sangat mencintai mereka, oleh karena itu ia selalu berdoa memohon kebaikan untuk mereka di setiap waktu, berdoa dengan hati yang bersih tanpa ada dendam dan kebencian, oleh karena itu saya melihat dalam segala urusanku adalah hasil dari doa beliau secara nyata dan tidak ada keraguan sedikitpun, berapa banyak pintu kebaikan terbuka untukku dengan tidak disangka-sangka dan berapa banyak tipu-daya orang-orang yang hasad dan dengki menjadi runtuh karena karunia Allah disebabkan doa ibuku yang dikabulkan-Nya."

(Dam'ah 'ala Qabri Ummi)

Sumber : Postingan Abu Ishaq di Milist As-Sunnah pada hari Rabu, 14 Januari 2009.

Baca Selengkapnya....

Selasa, 13 Januari 2009

Betapa Berbahayanya Bid’ah Meskipun Dianggap Kebaikan Oleh Banyak Orang

Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu’anha, bahwa Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa mengada-adakan dalam urusan kami ini sesuatu yang tidak termasuk darinya, maka dia tertolak.”[1]

Disebutkan dalam riwayat Muslim: “Barang siapa melakukan suatu perbuatan yang tidak berpedoman kepada perintah kami, maka dia tertolak.”[2]

Jadi, mendekatkan diri kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala dengan selain dari apa yang terdapat pada al-Quran, as-Sunnah, dan cara Salafush Shalih, adalah bahaya yang sangat besar, selain ia juga merupakan tindakan lancang serta melanggar ketentuan-ketentuan Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya, adalah mudah bagi orang yang mencuri uang sebesar satu dirham untuk mencuri beribu-ribu dirham (setelah itu -ed). Karena sesungguhnya perbuatan mencuri tersebut melanggar ketentuan-ketentuan Allah. Sama halnya dengan keadaan pelaku bid’ah, sementara bid’ah-bid’ah yang besar -bahkan terkadang syirik kepada Allah- akan terasa ringan olehnya. Karena, awal keberpalingan dari Sunnah yang shahih serta ridha terhadap bid’ah, merupakan jalan untuk menerima setiap kesesatan dan penyimpangan.

Sebagaimana kemusyrikan yang terjadi pada kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam yang bermula dari membuat patung orang-orang shalih setelah kematian mereka. Lalu, syaitan menghiasi tujuan dari perbuatan itu, yaitu agar mereka selalu mengingatnya dan meneladani amal-amal baik mereka. Syaitan pun membisikkan kepada orang-orang setelah mereka agar menyembah patung orang-orang shalih tersebut sebagai sesembahan selain Allah Subhaanahu wa Ta’ala dengan menanamkan dugaan bahwa nenek moyang mereka telah melakukan hal itu sebelumnya.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma, dia berkata: “Berhala-berhala yang ada pada kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam itulah yang kemudian dikenal di kalangan bangsa Arab setelah itu. Berhala Wadd untuk suku Kalb di daerah Daumatul Jandal (kota di negeri Syam yang dekat dengan Iraq -pent). Berhala Suwa’ untuk suku Hudzail (dekat dengan Makkah). Berhala Yaghuuts untuk suku Murad dan kemudian untuk Bani Ghuthaif di Juruf yang ada di negeri Saba’. Berhala Ya’uuq untuk suku Hamdan. Dan Berhala Nasr untuk bangsa Himyar, yaitu untuk keluarga Dzil Kala’. Mereka adalah nama-nama orang-orang shalih dari kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam. Tatkala mereka meninggal dunia, syaitan membisiki kaum mereka agar mereka mendirikan patung di majelis-majelis tempat mereka berkumpul dan menamakannya dengan nama-nama orang shalih tersebut. Lalu, mereka melakukannya, namun patung tersebut tidak disembah. Hingga akhirnya setelah mereka meninggal dunia dan ilmu pun telah dihapus, hingga patung-patung itu pun disembah.”[3 ]

Demikianlah, syaitan telah mendekati mereka secara berangsur-angsur melalui pintu bid’ah, dengan mengobarkan semangat beribadah dan keikhlasan terhadap para wali dan orang-orang shalih, hingga akhirnya syaitan mampu menjerumuskan mereka pada perbuatan-perbuatan musyrik dan kufur. Akan tetapi, seandainya mereka mau merenungi perihal diri mereka dan mencegah dirinya tersebut dari melakukan hal-hal yang berasal dari bujukan hawa nafsu mereka -meskipun tanpa pengaruh ilmu atau tanpa adanya tanda dari petunjuk- niscaya mereka tidak akan menghancurkan diri mereka dengan melakukan hal-hal yang mengantarkan kepada kekufuran dan menempatkannya pada perbuatan-perbuatan yang merugikan. Hal seperti ini pulalah yang terjadi pada orang-orang yang duduk di masjid dengan membuat halaqah (lingkaran -ed) sambil menunggu shalat. Pada setiap halaqah terdapat seorang (pemimpin -ed) dan di tangan mereka terdapat kerikil. Lalu orang itu berkata: “Bertakbirlah sebanyak seratus kali.” Lalu mereka membaca takbir sebanyak seratus kali. Demikian pula yang mereka lakukan dengan bacaan tahlil (Laa ilaaha illallaah) dan tasbih. Karena itulah, ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu sangat mengingkari perbuatan mereka.

Hal ini, sebagaimana disebutkan dalam riwayat shahih, dari al-Hakam bin al-Mubarak, dari ‘Amr bin Yahya, dia berkata: “Aku pernah mendengar ayahku menyampaikan hadits dari ayahnya, dia berkata: “Suatu saat kami duduk di dekat pintu (rumah) ‘Abdullah bin Mas’ud sebelum shalat Shubuh, dan bila dia keluar maka kami pun berjalan bersamanya menuju masjid. Lalu, Abu Musa mendatangi kami dan bertanya: “Apakah Abu ‘Abdirrahman (kunyah bagi Ibnu Mas’ud –red) telah keluar menemui kalian?” Kami menjawab: “Belum.” Ia pun duduk bersama kami hingga Ibnu Mas’ud keluar.

Tatkala ‘Abdullah bin Mas’ud keluar, kami semua berdiri menghampirinya, lalu Abu Musa berkata kepadanya: “Wahai Abu ‘Abdirrahman, sesungguhnya tadi aku telah melihat sesuatu yang aku ingkari di dalam masjid, dan –alhamdulillaah- yang aku lihat selama ini adalah kebaikan. ‘Abdullah bertanya: “Apa itu?” Abu Musa menjawab: “Jika (nanti -ed) kamu masih hidup, niscaya engkau akan melihatnya.” Abu Musa melanjutkan: “Aku melihat di dalam masjid sekelompok orang yang duduk membentuk halaqah (lingkaran) sambil menunggu shalat. Pada setiap halaqah terdapat seorang laki-laki dan di tangan mereka terdapat kerikil,” lalu orang itu berkata: “Bertakbirlah sebanyak seratus kali, mereka pun membaca takbir sebanyak seratus kali.” Lalu orang itu berkata: “Bacalah La ilaaha illallaah seratus kali,” maka mereka pun membaca Laa ilaaha illallaah sebanyak seratus kali. Orang itu juga berkata: “Bacalah tasbih sebanyak seratus kali, lalu mereka pun membaca tasbih seratus kali.”

‘Abdullah bertanya: “Lalu apa yang engkau katakan kepada mereka?” Abu Musa menjawab: “Aku tidak mengatakan apa pun kepada mereka, karena menunggu pendapat darimu atau menunggu perintahmu.” ‘Abdullah berkata: “Mengapa engkau tidak memerintahkan mereka agar menghitung kesalahan-kesalahan mereka lalu engkau menjamin kepada mereka bahwa kebaikan-kebaikan mereka tidak akan sia-sia?”

Kemudian, ‘Abdullah pergi dan kami pun pergi bersamanya hingga dia mendatangi salah satu halaqah tersebut. Ia pun berdiri di dekat mereka seraya bertanya: “Apa yang kalian lakukan ini?” Mereka menjawab: “Wahai Abu ‘Abdirrahman, ini adalah kerikil untuk menghitung bacaan takbir, tahliil (Laa ilaaha illallaah), dan tasbih.” ‘Abdullah berkata: “Kalau begitu, hitunglah kesalahan-kesalahan kalian, dan aku menjamin tidak akan ada sedikit pun dari kebaikan-kebaikan kalian yang sia-sia. Celaka kalian, wahai ummat Muhammad, alangkah cepatnya kehancuran kalian. Para Sahabat Nabi shalallahu’alaihi wasallam kalian masih banyak, baju beliau shalallahu’alaihi wasallam belum lagi usang dan bejana-bejana beliau juga belum pecah. Demi Yang jiwaku ada di Tangan-Nya, apakah kalian berada di atas satu agama yang lebih benar dari agama Muhammad, ataukah kalian mau membuka pintu kesesatan?"

Mereka menanggapi: “Demi Allah, wahai Abu ‘Abdirrahman, tidak ada yang kami inginkan melainkan kebaikan.” ‘Abdullah berkata: “Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun mereka tidak mendapatkannya. Sesungguhnya Rasulullah telah menyampaikan kepada kami, bahwa ada satu kaum yang membaca al-Qur-an, namun bacaan tersebut tidak melebihi tenggorokan mereka. Demi Allah, aku tidak tahu barangkali saja kebanyakan mereka itu berasal dari kalian.” Kemudian, ‘Abdullah pun berpaling meninggalkan mereka. ‘Amr bin Salam berkata: “Kami melihat kebanyakan orang-orang yang berasal dari halaqah-halaqah tersebut turut menyerang kami bersama kaum Khawarij pada perang Nahrawan.”[4]

Demikianlah, tatkala kaum tersebut berdzikir mengingat Rabb mereka tanpa adanya petunjuk dan penerang dari al-Qur-an maupun as-Sunnah, maka akibat dari perbuatan itu mereka turut bersama kaum Khawarij memerangi kaum Muslimin pada perang Nahrawan. Demikianlah, mereka telah keluar dari jalan orang-orang Mukmin, dimulai dari membaca tasbih, Laa Ilaaha illallaah, dan takbir, dan yang mereka inginkan dari hal itu hanyalah kebaikan, -menurut anggapan mereka- demikian pula, mereka hanya menginginkan kebaikan ketika memerangi kaum Muslimin pada perang Nahrawan!! Lalu, kebaikan mana lagi yang telah membuat mereka sampai menyerang kaum Muslimin dan menumpahkan darah mereka?

Catatan kaki :
[1] HR. Al-Bukhari (no. 2697) dan Muslim (no. 1718).
[2] HR. Muslim (No.1718)
[3] HR. Al-Bukhari (no. 4920). Al-Hafizh Ibnu Hajar
rahimahullah telah menyebutkan bahwa hadits ini adalah munqathi’. Sekalipun demikian, derajat hadits ini adalah shahih li ghairihi, karena ia memiliki jalur lain dari Ibnu ‘Abbas dan satu hadits penguat dari murid Ibnu ‘Abbas, yaitu ‘Ikrimah dalam Tafsiir ath-Thabari. Guru kami, Syaikh al-Albani rahimahullah, memberitahukan hal tersebut dan meletakkan keterangan ini pada tahqiq kedua dari kitab Tahdziirus Saajid fii Ittikhaadzil Qubuur Masaajid.
[4] HR. Ad-Darimi (I/68) dan sanadnya shahih. Semua perawinya adalah
tsiqah (dapat dipercaya). Lihat ar-Radd ‘alat Ta ’aqqubil Hatsiits (hlm. 47), karya guru kami, Syaikh al-Albani rahimahullah.

Sumber : Disalin dari Kitab Washiyyatu Muwaddi’, karya Syaikh Husain bin ‘Audah al-‘Awayisyah, diterjemahkan oleh Penerbit Pustaka Imam Syafi’i dengan judul ‘Pesan-pesan Terakhir Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam’, Bab IX : Bahaya Bid’ah, hal. 95-104.

Baca Selengkapnya....

Wasiat Terakhir Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam

Dari al-‘Irbadh bin Sariyah radhiallahu’anhu, dia berkata bahwa (pada suatu hari) Rasulullah shaallahu’alaihi wasallam memberikan nasihat kepada kami dengan nasihat yang sangat berkesan sehingga hati kami terharu dan air mata kami bercucuran. Maka kami pun menyapanya: “Wahai Rasulullah, sepertinya ini pesan perpisahan. Untuk itu, berilah kami wasiat." Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian agar selalu mendengar dan taat meskipun yang memimpin kalian seorang budak hitam (Habsyi). Karena sesungguhnya, siapa yang masih hidup (sepeninggalku) niscaya akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa-ur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham. Jauhilah pula oleh kalian perkara-perkara baru (bid‘ah) karena setiap bid‘ah itu sesat."*

* HR. Abu Dawud, Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 3851), at-Tirmidzi, Shahiih Sunanit Tirmidzi (no. 2157), Ibnu Majah, Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 40), dan lainnya. Lihat: Shahiihut Targhiib wat Tarhiib (no. 34) dan Kitaabus Sunnah (no. 54) oleh Ibnu Abi ‘Ashim, dengan tahqiq guru kami, Syaikh al-Albani rahimahullah. Dan disebutkan dalam satu riwayat an-Nasa-i dan al-Baihaqi yang tertera pada kitab al-Asmaa-u wash Shifaat: “Dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.” Dengan sanad yang shahih, sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Ajwibatun Naafi’ah (hlm. 545) dan Ishlaahul Masaajid (hlm. 11).

Sungguh, sebuah wasiat yang begitu berharga, bukan saja bagi para Sahabatnya, namun juga bagi seluruh ummat Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wasallam sepeninggal beliau hingga akhir zaman nanti. Apabila kita cermati, wasiat ini mengandung beberapa hal penting, di antaranya:
  1. Wasiat takwa selalu tepat disampaikan pada setiap tempat dan kesempatan sebelum wasiat-wasiat lain karena ia merupakan kunci kebaikan dunia dan akhirat.
  2. Mendengar dan taat kepada pemimpin kaum Muslimin yang sah, siapa pun dia, hukumnya wajib selama pemimpin tersebut tidak menyuruh bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.
  3. Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam mengabarkan kepada ummatnya peristiwa yang akan terjadi nanti sepeninggal beliau, berupa perselisihan pendapat antar ummat Islam, dan apa yang Rasulullah beritakan itu benar-benar terjadi. Hal ini membuktikan bahwa Muhammad shalallahu’alaihi wasallam adalah benar-benar seorang Nabi, yang tidaklah beliau berbicara melainkan berdasarkan wahyu dari Yang Maha Mengetahui yang ghaib, yaitu Allah Subhaanahu wa Ta’ala.
  4. Wasiat Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam yang disampaikan kepada ummatnya jauh-jauh hari sebelum wafatnya, mengenai musibah yang akan terjadi setelah beliau tidak berada lagi di tengah-tengah mereka, menunjukkan kasih sayang beliau yang begitu besar. Beliau tidak rela melihat ummatnya berpecah-belah karena perselisihan pendapat tanpa ada solusi yang tepat, benar dan aman dalam mengatasinya.
  5. Berdasarkan hadits di atas, sikap yang benar pada saat ummat Islam berselisih pendapat dan berpecah-belah adalah dengan mengembalikan masalah yang diperselisihkan kepada sunnah Rasul dan Sahabatnya, serta menjauhkan diri dari hal-hal baru yang tidak ada landasannya dalam as-Sunnah.
  6. Berdasarkan wasiat Nabi tersebut, as-Sunnah memiliki keistimewaan hukum dibandingkan dengan al-Qur-an. Pada saat ummat berselisih, as-Sunnah-lah yang seharusnya menjadi penengah dikarenakan ia mengandung hukum yang lebih terperinci daripada al-Qur-an yang masih global. Di samping itu, as-Sunnah juga berfungsi menjelaskan dan menjabarkan hukum-hukum al-Qur-an yang masih umum dan mutlak.
  7. Setiap perkara baru yang menyelisihi as-Sunnah (bid’ah) adalah kesesatan semata dan berpotensi menyesatkan siapa saja yang menganutnya.
  8. As-Sunnah tetap relevan untuk setiap zaman.
Disalin dari bagian pengantar Kitab Washiyyatu Muwaddi’ karya Syaikh Husain bin ‘Audah al-Awayisyah, diterjemahkan oleh Penerbit Pustaka Imam Syafi’i dengan judul ‘Pesan-pesan Terakhir Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam’.

Baca Selengkapnya....

Rabu, 07 Januari 2009

Kisah Keteguhan Imam Ahmad rahimahullah Dalam Menghadapi Fitnah

Imam al-Aajurri rahimahullah berkata, Dikisahkan kepadaku dari al-Muhtadi rahimahullah bahwasanya ia berkata, "Tidak ada yang dapat menghentikan aksi ayahku (yakni al-Watsiq) kecuali seorang Syaikh (yakni Imam Ahmad) yang dibawa dari al-Mashishah. Ia dijebloskan ke dalam penjara selama beberapa waktu. Kemudian pada suatu hari ayahku teringat kepadanya. Ayahku berkata, "Bawalah Syaikh itu kepadaku!" Lalu iapun dibawa dalam keadaan terbelenggu.

Ketika Syaikh itu tiba iapun mengucapkan salam kepada ayahku. Namun ayahku tidak membalas salamnya. Syaikh itu berkata, "Wahai Amirul Mukminin, engkau tidak memperlakukanku dengan adab yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah berfirman, “Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormata, maka balaslah penghormatan itu dengan lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa)”. (QS. 4: 86). dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga memerintahkan kita membalas salam!"

Ayahku pun membalas salamnya, "Wa 'alaikas salam!" balasnya, kemudian berkata kepada Ibnu Abi Duwad, "Tanyakanlah kepadanya!" Syaikh itu berkata, "Wahai amirul mukminin, saya dalam keadaan terikat seperti ini, saya mengerjakan shalat dalam sel tahanan dengan bertayammum, saya tidak diberi air. Lepaskanlah dahulu ikatan saya ini dan berilah saya air agar saya dapat bersuci dan mengerjakan shalat, setelah itu tanyalah yang ingin ditanyakan kepadaku."

Lalu ayahku memerintahkan para pengawal agar mereka melepaskan ikatannya dan memberinya air. Syaikh itupun berwudhu lalu mengerjakan shalat. Kemudian ayahku berkata kepada Ibnu Abi Duwad, "Tanyakanlah kepadanya!", "Sayalah yang semestinya bertanya kepadanya, suruh ia menjawab pertanyaanku!" potong Syaikh tersebut. "Silahkan!" Sahut ayahku.

Maka Syaikh itupun mendatangi Ibnu Abi Duwad dan bertanya kepadanya, "Kabarkan kepadaku tentang perkara yang engkau propagandakan kepada manusia (yaitu perkara kemakhlukan al-Qur'an -red), apakah termasuk perkara yang didakwahkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam?"
"Tidak!" jawab Ibnu Abi Duwad.
"Apakah termasuk perkara yang didakwahkan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu 'anhu?" lanjut Syaikh tersebut.
"Tidak!" jawabnya.
"Apakah termasuk perkara yang didakwahkan oleh Umar bin al-Khaththab radhiallahu 'anhu?" tanyanya lagi.
"Tidak!" jawabnya.
"Apakah termasuk perkara yang didakwahkan oleh Utsman bin Affan radhiallahu 'anhu?" tanyanya lagi.
"Tidak!" jawabnya.
"Apakah termasuk perkara yang didakwahkan oleh Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu?" lanjut Syaikh itu.
"Tidak!" tegaaas Ibnu Abdi Duwad.

Syaikh itu berkata, “Suatu perkara yang tidak didakwahkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak pula Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radhiallahu 'anhum lalu Anda mendakwahkannya kepada umat manusia? Tidak bisa tidak anda harus berkata, 'Mereka (Rasulullah dan para sahabat -ed) mengetahuinya atau mereka tidak mengetauinya' Jika anda katakan, 'Mereka mengetahuinya! namun mereka tidak menyuarakannya.' Maka cukuplah bagi kita semua apa yang cukup bagi mereka, yaitu tidak menyuarakannya! "Jika anda katakan, 'Mereka tidak mengetahuinya! tetapi sayalah yang mengetahuinya!' Sungguh celaka anda ini! Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Khulafaaur Rasyidin radhiyallahu 'anhum tidak mengetahuinya, sementara Anda dan rekan-rekan anda mengetahuinya!"

Al-Muhtadi berkata, "Saya lihat ayahku langsung berdiri dan masuk ke dalam haira, ia tertawa sambil menutup wajahnya dengan bajunya dan berkata, "Benar juga, tidak bisa tidak kita harus mengatakan, 'Mereka mengetahuinya' atau 'Mereka tidak mengetahuinya' Jika kita katakan, 'Mereka mengetahuinya! namun mereka tidak menyuarakannya.' Maka cukuplah bagi kita semua apa yang cukup bagi mereka, yaitu tidak menyuarakannya! "Jika anda katakan, 'Mereka tidak mengetahuinya! tetapi andalah yang mengetahuinya!' Sungguh celaka kita ini! Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Khulafaaur Rasyidin radhiyallahu 'anhum tidak mengetahuinya, sementara Anda dan rekan-rekan anda mengetahuinya!"

Kemudian ayahku berkata, "Hai Ahmad!", "Labbaika" jawabnya. "Bukan kamu yang saya maksud, tapi Ahmad bin Abi Duwad!" sahut ayahku. Maka Ibnu Abi Duwad pun segera mendatanginya. Ayahku berkata, "Berilah Syaikh ini nafkah dan keluarkanlah ia dari negeri kita!"

Dalam sebuah riwayat yang dibawakan oleh Imam Adz-Dzahabi dalam As-Siyar disebutkan, "...Maka jatuhlah pamor Ibnu Abi Duwad dalam pandangan ayahku, dan beliau tidak pernah lagi menguji orang dengan keyakinan sesat tersebut (keyakinan Al-Qur'an sebagai makhluk)!"

Dalam riwayat lain disebutkan, "Al-Muhtadi berkata, 'Sayapun insyaf dari keyakinan tersebut dan saya kira semenjak saat itu ayah sayapun insyaf darinya."

----------
Telah diriwayatkan dengan sanad yang tersambung oleh al-Ajurri dalam kitab Asy-Syari'ah hal. 91, dari beliau pula Ibnu Baththah meriwayatkannya dalam Al-Ibanah/Ar-Radd 'Alal Jahmiyah (452).
Diriwayatkan pula dari jalur yang lain oleh Ibnu Baththah dalam kitab tersebut (453), al-Khathib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad (IV/151-152), (X/75-79), Ibnul Jauzi dalam Manaqib Imam Ahmad (hal 431-432), Abdul Ghani al-Maqdisi dalam kitab Al-Mihnah (hal 169-174) dan Ibnu Qudamah dalam kitab At-Tawwabin (hal 210-215).
Baca Selengkapnya....