tag:blogger.com,1999:blog-31610931437358629982024-02-20T01:19:48.619-08:00CAHAYA HATI...<p><em>...Kumpulan Kisah, Hikmah dan Renungan yang Menyinari Hati...</em></p>Wahyudi Abu Fauzanhttp://www.blogger.com/profile/03444204196705043406noreply@blogger.comBlogger14125tag:blogger.com,1999:blog-3161093143735862998.post-14411046916665609952011-06-28T02:08:00.000-07:002011-06-28T02:15:47.645-07:00Kisah Sabar Yang Paling MengagumkanProf. Dr. Khalid al-Jubair penasehat spesialis bedah jantung dan urat nadi di rumah sakit al-Malik Khalid di Riyadh mengisahkan sebuah kisah pada sebuah seminar dengan tajuk Asbab Mansiah (Sebab-Sebab Yang Terlupakan). Mari sejenak kita merenung bersama, karena dalam kisah tersebut ada nasihat dan pelajaran yang sangat berharga bagi kita.<br /><br />Sang dokter berkata:<br />Pada suatu hari -hari Selasa- aku melakukan operasi pada seorang anak berusia 2,5 tahun. Pada hari Rabu, anak tersebut berada di ruang ICU dalam keadaan segar dan sehat.<br /><br />Pada hari Kamis pukul 11:15 -aku tidak melupakan waktu ini karena pentingnya kejadian tersebut- tiba-tiba salah seorang perawat mengabariku bahwa jantung dan pernafasan anak tersebut berhenti bekerja. Maka akupun pergi dengan cepat kepada anak tersebut, kemudian aku lakukan proses kejut jantung yang berlangsung selama 45 menit. Selama itu jantungnya tidak berfungsi, namun setelah itu Allah Subhanaahu wa Ta`ala menentukan agar jantungnya kembali berfungsi. Kamipun memuji Allah Subhanaahu wa Ta`ala .<br /><br /><span class="fullpost">Kemudian aku pergi untuk mengabarkan keadaannya kepada keluarganya, sebagaimana anda ketahui betapa sulit mengabarkan keadaan kepada keluarganya jika ternyata keadaannya buruk. Ini adalah hal tersulit yang harus dihadapi oleh seorang dokter. Akan tetapi ini adalah sebuah keharusan. Akupun bertanya tentang ayah si anak, tapi aku tidak mendapatinya. Aku hanya mendapati ibunya, lalu aku katakan kepadanya: "Penyebab berhentinya jantung putramu dari fungsinya adalah akibat pendarahan yang ada pada pangkal tenggorokan dan kami tidak mengetahui penyebabnya. Aku kira otaknya telah mati."<br /><br />Coba tebak, kira-kira apa jawaban ibu tersebut?<br />Apakah dia berteriak? Apakah dia histeris? Apakah dia berkata: "Engkaulah penyebabnya!"<br />Dia tidak berbicara apapun dari semua itu bahkan dia berkata: "Alhamdulillah." Kemudian dia meninggalkanku dan pergi.<br /><br />Sepuluh hari berlalu, mulailah sang anak bergerak-gerak. Kamipun memuji Allah Subhanaahu wa Ta`ala serta menyampaikan kabar gembira sebuah kebaikan yaitu bahwa keadaan otaknya telah berfungsi.<br /><br />Pada hari ke-12, jantungnya kembali berhenti bekerja disebabkan oleh pendarahan tersebut. Kami pun melakukan proses kejut jantung selama 45 menit, dan jantungnya tidak bergerak. Maka akupun mengatakan kepada ibunya: "Kali ini menurutku tidak ada harapan lagi." Maka dia berkata: "Alhamdulillah, ya Allah jika dalam kesembuhannya ada kebaikan, maka sembuhkanlah dia wahai Rabbi."<br /><br />Maka dengan memuji Allah, jantungnya kembali berfungsi, akan tetapi setelah itu jantung kembali berhenti sampai 6 kali hingga dengan ketentuan Allah Subhanaahu wa Ta`ala spesialis THT berhasil menghentikan pendarahan tersebut, dan jantungnya kembali berfungsi.<br /><br />Berlalulah sekarang 3,5 bulan, dan anak tersebut dalam keadaan koma, tidak bergerak. Kemudian setiap kali dia mulai bergerak dia terkena semacam pembengkakan bernanah aneh yang besar di kepalanya, yang aku belum pernah melihat semisalnya. Maka kami katakan kepada sang ibu bahwa putra anda akan meninggal. Jika dia bisa selamat dari kegagalan jantung yang berulang-ulang, maka dia tidak akan bisa selamat dengan adanya semacam pembengkakan di kepalanya. Maka sang ibu berkata: "Alhamdilillah." Kemudian meninggalkanku dan pergi. Setelah itu, kami melakukan usaha untuk merubah keadaan segera dengan melakukan operasi otak dan urat syaraf serta berusaha untuk menyembuhkan sang anak. Tiga minggu kemudian, dengan karunia Allah Subhanaahu wa Ta`ala , dia tersembuhkan dari pembengkakan tersebut, akan tetapi dia belum bergerak.<br /><br />Dua minggu kemudian, darahnya terkena racun aneh yang menjadikan suhunya 41,2oC. maka kukatakan kepada sang ibu: "Sesungguhnya otak putra ibu berada dalam bahaya besar, saya kira tidak ada harapan sembuh." Maka dia berkata dengan penuh kesabaran dan keyakinan: "Alhamdulillah, ya Allah, jika pada kesembuhannya terdapat kebaikan, maka sembuhkanlah dia."<br /><br />Setelah aku kabarkan kepada ibu anak tersebut tentang keadaan putranya yang terbaring di atas ranjang nomor 5, aku pergi ke pasien lain yang terbaring di ranjang nomor 6 untuk menganalisanya. Tiba-tiba ibu pasien nomor 6 tersebut menagis histeris seraya berkata: "Wahai dokter, kemari, wahai dokter suhu badannya 37,6o, dia akan mati, dia akan mati." Maka kukatakan kepadanya dengan penuh heran: "Lihatlah ibu anak yang terbaring di ranjang no 5, suhu badannya 41o lebih sementara dia bersabar dan memuji Allah." Maka berkatalah ibu pasien no. 6 tentang ibu tersebut: "Wanita itu tidak waras dan tidak sadar."<br /><br />Maka aku mengingat sebuah hadits Rasulullah Sholallohu `alaihi wa sallam yang indah lagi agung:<br />(طُوْبَى لِلْغُرَبَاِء) "Beruntunglah orang-orang yang asing." Sebuah kalimat yang terdiri dari dua kata, akan tetapi keduanya menggoncangkan ummat. Selama 23 tahun bekerja di rumah sakit aku belum pernah melihat dalam hidupku orang sabar seperti ibu ini kecuali dua orang saja.<br /><br />Selang beberapa waktu setelah itu ia mengalami gagal ginjal, maka kami katakan kepada sang ibu: "Tidak ada harapan kali ini, dia tidak akan selamat." Maka dia menjawab dengan sabar dan bertawakkal kepada Allah: "Alhamdulillah." Seraya meninggalkanku seperti biasa dan pergi.<br /><br />Sekarang kami memasuki minggu terakhir dari bulan keempat, dan anak tersebut telah tersembuhkan dari keracunan. Kemudian saat memasuki pada bulan kelima, dia terserang penyakit aneh yang aku belum pernah melihatnya selama hidupku, radang ganas pada selaput pembungkus jantung di sekitar dada yang mencakup tulang-tulang dada dan seluruh daerah di sekitarnya. Dimana keadaan ini memaksaku untuk membuka dadanya dan terpaksa menjadikan jantungnya dalam keadaan terbuka. Sekiranya kami mengganti alat bantu, anda akan melihat jantungnya berdenyut di hadapan anda..<br /><br />Saat kondisi anak tersebut sampai pada tingkatan ini aku berkata kepada sang ibu: "Sudah, yang ini tidak mungkin disembuhkan lagi, aku tidak berharap. Keadaannya semakin gawat." Diapun berkata: "Alhamdulillah." Sebagaimana kebiasaannya, tanpa berkata apapun selainnya.<br /><br />Kemudian berlalulah 6,5 bulan, anak tersebut keluar dari ruang operasi dalam keadaan tidak berbicara, melihat, mendengar, bergerak dan tertawa. Sementara dadanya dalam keadaan terbuka yang memungkinkan bagi anda untuk melihat jantungnya berdenyut di hadapan anda, dan ibunyalah yang membantu mengganti alat-alat bantu di jantung putranya dengan penuh sabar dan berharap pahala.<br /><br />Apakah anda tahu apa yang terjadi setelah itu?<br />Sebelum kukabarkan kepada anda, apakah yang anda kira dari keselamatan anak tersebut yang telah melalui segala macam ujian berat, hal gawat, rasa sakit dan beberapa penyakit yang aneh dan kompleks? Menurut anda kira-kira apa yang akan dilakukan oleh sang ibu yang sabar terhadap sang putra di hadapannya yang berada di ambang kubur itu? Kondisi yang dia tidak punya kuasa apa-apa kecuali hanya berdo'a, dan merendahkan diri kepada Allah Subhanaahu wa Ta`ala ?<br /><br />Tahukah anda apa yang terjadi terhadap anak yang mungkin bagi anda untuk melihat jantungnya berdenyut di hadapan anda 2,5 bulan kemudian?<br />Anak tersebut telah sembuh sempurna dengan rahmat Allah Subhanaahu wa Ta`ala sebagai balasan bagi sang ibu yang shalihah tersebut. Sekarang anak tersebut telah berlari dan dapat menyalip ibunya dengan kedua kakinya, seakan-akan tidak ada sesuatupun yang pernah menimpanya. Dia telah kembali seperti sedia kala, dalam keadaan sembuh dan sehat.<br /><br />Kisah ini tidaklah berhenti sampai di sini, apa yang membuatku menangis bukanlah ini, yang membuatku menangis adalah apa yang terjadi kemudian:<br />Satu setengah tahun setelah anak tersebut keluar dari rumah sakit, salah seorang kawan di bagian operasi mengabarkan kepadaku bahwa ada seorang laki-laki berserta istri bersama dua orang anak ingin melihat anda. Maka kukatakan kepadanya: "Siapakah mereka?" Dia menjawab, "tidak mengenal mereka."<br /><br />Akupun pergi untuk melihat mereka, ternyata mereka adalah ayah dan ibu dari anak yang dulu kami operasi. Umurnya sekarang 5 tahun seperti bunga dalam keadaan sehat, seakan-akan tidak pernah terkena apapun, dan juga bersama mereka seorang bayi berumur 4 bulan.<br /><br />Aku menyambut mereka, dan bertanya kepada sang ayah dengan canda tentang bayi baru yang digendong oleh ibunya, apakah dia anak yang ke-13 atau 14? Diapun melihat kepadaku dengan senyuman aneh, kemudian dia berkata: "Ini adalah anak yang kedua, sedang anak pertama adalah anak yang dulu anda operasi, dia adalah anak pertama yang datang kepada kami setelah 17 tahun mandul. Setelah kami diberi rizki dengannya, dia tertimpa penyakit seperti yang telah anda ketahui sendiri."<br /><br />Aku tidak mampu menguasai jiwaku, kedua mataku penuh dengan air mata. Tanpa sadar aku menyeret laki-laki tersebut dengan tangannya kemudian aku masukkan ke dalam ruanganku dan bertanya tentang istrinya. Kukatakan kepadanya: "Siapakah istrimu yang mampu bersabar dengan penuh kesabaran atas putranya yang baru datang setelah 17 tahun mandul? Haruslah hatinya bukan hati yang gersang, bahkan hati yang subur dengan keimanan terhadap Allah Subhanaahu wa Ta`ala ."<br /><br />Tahukah anda apa yang dia katakan?<br />Diamlah bersamaku wahai saudara-saudariku, terutama kepada anda wahai saudari-saudari yang mulia, cukuplah anda bisa berbangga pada zaman ini ada seorang wanita muslimah yang seperti dia.<br /><br />Sang suami berkata: "Aku menikahi wanita tersebut 19 tahun yang lalu, sejak masa itu dia tidak pernah meninggalkan shalat malam kecuali dengan udzur syar'i. Aku tidak pernah menyaksikannya berghibah (menggunjing), namimah (adu domba), tidak juga dusta. Jika aku keluar dari rumah atau aku pulang ke rumah, dia membukakan pintu untukku, mendo'akanku, menyambutku, serta melakukan tugas-tugasnya dengan segenap kecintaan, tanggung jawab, akhlak dan kasih sayang."<br /><br />Sang suami menyempurnakan ceritanya dengan berkata: "Wahai dokter, dengan segenap akhlak dan kasih sayang yang dia berikan kepadaku, aku tidak mampu untuk membuka satu mataku terhadapnya karena malu." Maka kukatakan kepadanya: "Wanita seperti dia berhak mendapatkan perlakuan darimu seperti itu." Kisah selesai.<br /><br />Kukatakan:<br />Saudara-saudariku, kadang anda terheran-heran dengan kisah tersebut, yaitu terheran-heran terhadap kesabaran wanita tersebut, akan tetapi ketahuilah bahwa beriman kepada Allah Subhanaahu wa Ta`ala dengan segenap keimanan dan tawakkal kepada-Nya dengan sepenuhnya, serta beramal shalih adalah perkara yang mengokohkan seorang muslim saat dalam kesusahan, dan ujian. Kesabaran yang demikian adalah sebuah taufik dan rahmat dari Allah Subhanaahu wa Ta`ala .<br /><br />Allah Subhanaahu wa Ta`ala berfirman:<br />"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun". Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS. Al-Baqarah: 155-157)<br /><br />Nabi Sholallohu `alaihi wa sallam bersabda:<br />"Tidaklah menimpa seorang muslim dari keletihan, sakit, kecemasan, kesedihan tidak juga gangguan dan kesusahan, hingga duri yang menusuknya, kecuali dengannya Allah Subhanaahu wa Ta`ala akan menghapus kesalahan-kesalahannya." (HR. al-Bukhari (5/2137))<br /><br />Maka, wahai saudara-saudariku, mintalah pertolongan kepada Allah Subhanaahu wa Ta`ala , minta dan berdo'alah hanya kepada Allah Subhanaahu wa Ta`ala terhadap berbagai kebutuhan anda sekalian.<br /><br />Bersandarlah kepada-Nya dalam keadaan senang dan susah. Sesungguhnya Dia Subhanaahu wa Ta`ala adalah sebaik-baik pelindung dan penolong.<br /><br />Mudah-mudahan Allah Subhanaahu wa Ta`ala membalas anda sekalian dengan kebaikan, serta janganlah melupakan kami dari do'a-do'a kalian.<br /><br />"Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu)." (QS. Al-A'raf: 126) (Ahttp://www.blogger.com/img/blank.gifR)*<br /><br />----------------------<br />Penulis: Mamduh Farhan al-Buhairi<br />Dari Kaset <span style="font-weight: bold;">Asbab Mansiah</span> (Sebab-Sebab Yang Terlupakan)<br /><br />Sumber: <a href="http://qiblati.com/kisah-sabar-yang-paling-mengagumkan.html">http://qiblati.com/kisah-sabar-yang-paling-mengagumkan.html</a><br /></span>Wahyudi Abu Fauzanhttp://www.blogger.com/profile/03444204196705043406noreply@blogger.com8tag:blogger.com,1999:blog-3161093143735862998.post-90685833797158647922011-06-28T01:56:00.000-07:002011-06-28T02:00:02.614-07:00Kisah Tentang Kesabaran Dan KeyakinanSaya berkunjung ke negara Maroko untuk mengadakan pengobatan -operasi jantung- secara cuma-cuma khusus untuk kalangan fakir miskin dengan dana sukarela dari seseorang di Saudi Arabia.<br /><br />Kunjungan itu saya awali dengan melakukan inspeksi (pemeriksaan dengan teliti yang dilakukan oleh pihak terkait) untuk mengetahui gambaran umum kondisi kesehatan di negara itu. Dalam acara ini saya ditemani oleh dr. Muhsin Ubaidillah yang bertindak sebagai asisten dan penterjemah, karena beliau adalah penduduk asli negara ini. Beliau juga melakukan banyak tugas dan pekerjaan dalam rangka menyukseskan acara saya ini. Semoga Allah membalas semua kebaikannya.<br /><br />Diantara pasien yang datang, ada seorang pasien yang telah berusia empat puluh tahun, ketika melihat keadaannya saya sangat khawatir, ia berjalan tiap dua langkah berhenti untuk menghela nafas, perutnya membuncit karena busung, kedua kakinya telah membengkak akibat dari jantung yang lemah, urat-urat nadi di lututnya telah membesar dan wajahnya menyiratkan rasa sakit dan penderitaan, Anda tidak akan mampu menyaksikannya.<br /><br /><span class="fullpost">Ketika melihatnya seperti itu, saya merasa khawatir, dan lebih ngeri lagi saat saya memeriksa catatan kesehatannya, maka saya ingatkan dr. Muhsin agar tidak memasukkannya di dalam daftar orang-orang yang akan menjalani operasi. Karena berdasarkan perkiraanku, operasi tidak akan memberikan banyak manfaat untuknya, ditambah lagi bahwa kondisinya sangat mengkhawatirkan. Dalam hal ini saya berkewajiban untuk menyeleksi orang-orang yang mungkin mendapatkan manfaat dari proyek ini.<br /><br />Ternyata orang tersebut mengerti apa yang saya katakan kepada dr. Muhsin, maka ia segera menyahut, "Ingat apa yang dikatakan oleh Tuhan-ku, bukankah Dia telah berfirman,<br /><br />"Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku." (QS. As-Syuara': 80).<br /><br />Dalam hal ini saya sangat yakin bahwa dengan izin Allah saya akan sembuh. Wahai dokter, Anda hanya perantara saja atas kesembuhan saya ini, maka operasilah saya, karena sesungguhnya Allah-lah yang akan menyembuhkan saya."<br /><br />Saya mencoba memberikan penjelasan dengan lemah lembut kepadanya, akan tetapi ia tetap bersikeras minta untuk dioperasi. Maka akhirnya saya katakan kepadanya, "Insya allah, tidak akan terjadi kecuali yang terbaik."<br /><br />Tak lama kemudian saya melihatnya bertayammum lalu mendirikan shalat zhuhur, saya bertanya kepadanya,<br /><br />"Kenapa tidak berwudhu?" Ia menjawab, "Saya tidak bisa, bahkan untuk melaksnakan shalat sambil berdiri pun saya tidak mampu."<br /><br />Mendengar penjelasan itu, saya hampir berubah pendirian untuk mengoperasinya, akan tetapi kemudian saya ingat, bahwa kedatanganku ke sini dengan perbekalan yang minim dan harus disalurkan kepada mereka-mereka yang diperkirakan akan mendapatkan hasil dari operasi ini dengan izin Allah.<br /><br />Ketika saya mulai melakukan operasi kepada para pasien, orang itu dua kali datang kembali, akan tetapi ia ditolak oleh dr. Muhsin.<br /><br />Pada minggu terakhir dari masa tugasku dr. Dzafir al Khudhairi, ahli Anestesi -pembiusan-, harus meninggalkanku untuk urusan yang penting, yang mana kami berdua telah sepakat sebelumnya bahwa operasi untuk kondisi seperti orang ini tidak mungkin untuk dilaksanakan di sini. Dan beliau telah menolak untuk melaksanakan anestesi -pembiusan- terhadap seseorang yang kondisinya lebih bagus daripada orang ini.<br /><br />Setelah dr. Dzafir pergi, pada minggu terakhir ini posisi anestesi digantikan oleh dr. Musthafa al Sabit, beliau adalah seorang dokter yang cukup terkenal dan berjiwa militer.<br /><br />Pada minggu ini pula dr. Muhsin harus beristirahat dua hari karena sakit. Orang tersebut datang ke rumah sakit lagi dan kemudian dr. Ilmi yang tidak tahu duduk permasalahannya memasukkan orang tersebut ke dalam daftar tunggu pasien operasi.<br /><br />Biasanya saya memeriksa pasien yang akan menjalani operasi pada malam hari sebelum tiba hari pelaksanaan operasi, tepat pada malam hari di mana besok paginya orang tersebut mendapatkan giliran operasi, saya diundang untuk makan malam di kota al Ribath yang memakan waktu sekitar satu setengah jam perjalanan dengan mobil dari al Dar al Abhyadh, sehingga saya pulang larut malam dan malas untuk pergi memeriksa pasien yang akan dioperasi esok hari, aku berkata kepada diri sendiri, "Insya Allah, besok aku akan berangkat pagi-pagi untuk memeriksa pasien yang akan dioperasi."<br /><br />Akan tetapi apa yang terjadi? Allah takdirkan saya bangun kesiangan, pada jam setengah sembilan, maka dengan tergesa-gesa saya berangkat ke rumah sakit. Sesampainya di sana ternyata pasien telah siap, sekilas saya memeriksa laporan dan tidak menelitinya dengan cermat. Pada saat itu saya hanya konsentrasi pada hal-hal yang perlu dilaksanakan terhadap pasien, yakni membenahi tiga titik katup.<br /><br />Operasi telah saya mulai dan berjalan sesuai dengan rencana sedangkan pasiennya dalam kondisi yang sangat stabil dan tenang.<br /><br />Saya menuju ke ruang staff bagian jantung, lalu pergi beberapa saat untuk memenuhi beberapa keperluan dan kembali ke rumah sakit untuk melihat pasien-pasien yang telah dioperasi hari ini, dilanjutkan dengan memeriksa pasien-pasien yang akan menjalani operasi esok hari.<br /><br />Tiba-tiba dr. Muhsin mengajakku menuju ke bangsal pemulihan sambil berkata, "Mari, kita lihat salah seorang pasien." Di sana saya mendapati orang yang kondisinya sangat mengkhawatirkan itu tengah duduk di atas bangsal pemulihan dalam keadaan yang sangat stabil tanpa alat bantu pernafasan karena telah dilepaskan darinya.<br /><br />Sesaat setelah melihatku, ia segera membaca firman Allah,<br /><br />"Dan apabila aku sakit, Dia-lah Yang Menyembuhkan aku." (QS. As Syuara': 80).<br /><br />Lalu berkata, "Bukankah aku telah mengatakan kepadamu wahai dokter, sesungguhnya Tuhan-ku akan menyembuhkanku, sedangkan Anda tidak lain hanyalah perantara."<br /><br />Saya bertanya kepada dr. Muhsin, "Bagaimana pasien ini bisa masuk?" Maka beliau mengkisahkan jalan ceritanya yang memang tidak saya ketahui sebelumnya, dr. Muhsin berkata, "Ketika saya absen karena sakit kemarin, orang ini mendatangi dr. Ilmi, maka beliau memasukkannya ke dalam daftar pasien yang menjalani operasi hari ini, karena beliau mengira Anda telah menyetujui orang ini untuk masuk ke ruang operasi.<br /><br />Dan pagi ini ketika saya tiba di ruang operasi saya dikejutkan oleh keberadaan pasien ini di sana, maka saya jelaskan kepada dr. Mushthafa al Sabit -ahli anestesi- bahwa Anda tidak bersedia untuk melakukan operasi atas pasien ini berdasarkan pertimbangan resikonya.<br /><br />Orang ini menangis dan memohon kepada dr. Mushthafa, ia terus merengek hingga akhirnya dr. Mushthafa menyerah dan melakukan pembiusan terhadap pasien ini.<br /><br />Beliau diingatkan kembali bahwa Anda -dr. Khalid penulis buku ini- tidak bersedia melakukan operasi apapun terhadap orang ini, akan tetapi dr. Mushthafa bersikeras bahwa beliau yang bertanggung jawab dan beliau akan menjelaskannya kepada Anda, begitulah kisahnya."<br /><br />Seminggu kemudian pasien tersebut telah keluar dari rumah sakit dan tiga bulan kemudian kembali melakukan aktifitasnya yang telah ia tinggalkan sejak dua tahun yang lalu.<br /><br />Saudara saudariku sekalian, sesungguhnya orang ini telah menyerahkan dirinya dan bertawakal sepenuhnya kepada Allah, maka Allah Ta'ala memberinya kesabaran dan keyakinan akan datangnya kesembuhan, karena itu ia memaksakan diri untuk menjalani operasi dengan penuh keyakinan bahwa Allah Yang Maha Pemberi dan Maha Mulia akan menyembuhkannya, Allah Ta'ala berfirman,<br /><br />"Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya." (QS. Ath Thalaq: 2-3).<br /><br />Kejadian ini merupakan bukti nyata bahwa, jika Allah Ta'ala mentakdirkan sesuatu, maka Allah Ta'ala akan memudahkan jalan untuk ke sana, memberikan sarana pendukungnya dan hal itu harus dan pasti terjadi. Allah Ta'ala berfirman,<br /><br />"Sesungguh-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia." (QS. Yasin: 82).<br /><br />Dalam kejadian di atas Allah Ta'ala menyingkirkan semua dokter yang menjadi penghalang terjadinya proses operasi, Mahasuci Allah.<br /><br />--------------------------<br />Dikutip dari buku <span style="font-weight: bold;">‘Kesaksian Seorang Dokter’</span>, Penerbit <span style="font-weight: bold;">Darus Sunnah</span>, via <a href="http://buku-islam.blogspot.com">http://buku-islam.blogspot.com</a><br /></span>Wahyudi Abu Fauzanhttp://www.blogger.com/profile/03444204196705043406noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3161093143735862998.post-88155051323508215322011-06-27T18:12:00.000-07:002011-06-27T18:19:15.347-07:00Kisah Gadis Kecil Yang ShalihahAku akan meriwayatkan kepada anda kisah yang sangat berkesan ini, seakan-akan anda mendengarnya langsung dari lisan ibunya.<br />Berkatalah ibu gadis kecil tersebut:<br /><br />Saat aku mengandung putriku, Afnan, ayahku melihat sebuah mimpi di dalam tidurnya. Ia melihat banyak burung pipit yang terbang di angkasa. Di antara burung-burung tersebut terdapat seekor merpati putih yang sangat cantik, terbang jauh meninggi ke langit. Maka aku bertanya kepada ayah tentang tafsir dari mimpi tersebut. Maka ia mengabarkan kepadaku bahwa burung-burung pipit tersebut adalah anak-anakku, dan sesungguhnya aku akan melahirkan seorang gadis yang bertakwa. Ia tidak menyempurnakan tafsirnya, sementara akupun tidak meminta tafsir tentang takwil mimpi tersebut.<br /><br /><span class="fullpost">Setelah itu aku melahirkan putriku, Afnan. Ternyata dia benar-benar seorang gadis yang bertakwa. Aku melihatnya sebagai seorang wanita yang shalihah sejak kecil. Dia tidak pernah mau mengenakan celana, tidak juga mengenakan pakaian pendek, dia akan menolak dengan keras, padahal dia masih kecil. Jika aku mengenakan rok pendek padanya, maka ia mengenakan celana panjang di balik rok tersebut. Afnan senantiasa menjauh dari segenap perkara yang membuat murka Allah. Setelah dia menduduki kelas 4 SD, dia semakin menjauh dari segenap perkara yang membuat murka Allah. Dia menolak pergi ke tempat-tempat permainan, atau ke pesta-pesta walimah. Dia adalah seorang gadis yang perpegang teguh dengan agamanya, sangat cemburu di atasnya, menjaga shalat-shalatnya, dan sunnah-sunnahnya. Tatkala dia sampai SMP mulailah dia berdakwah kepada agama Allah. Dia tidak pernah melihat sebuah kemungkaran kecuali dia mengingkarinya, dan memerintah kepada yang ma'ruf, dan senantiasa menjaga hijabnya.<br /><br />Permulaan dakwahnya kepada agama Allah adalah permulaan masuk Islamnya pembantu kami yang berkebangsaan Srilangka.<br /><br />Ibu Afnan melanjutkan ceritanya:<br />Tatkala aku mengandung putraku, Abdullah, aku terpaksa mempekerjakan seorang pembantu untuk merawatnya saat kepergianku, karena aku adalah seorang karyawan. Ia beragama Nasrani. Setelah Afnan mengetahui bahwa pembantu tersebut tidak muslimah, dia marah dan mendatangiku seraya berkata: "Wahai ummi, bagaimana dia akan menyentuh pakaian-pakaian kita, mencuci piring-piring kita, dan merawat adikku, sementara dia adalah wanita kafir?! Aku siap meninggalkan sekolah, dan melayani kalian selama 24 jam, dan jangan menjadikan wanita kafir sebagai pembantu kita!!"<br /><br />Aku tidak memperdulikannya, karena memang kebutuhanku terhadap pembantu tersebut amat mendesak. Hanya dua bulan setelah itu, pembantu tersebut mendatangiku dengan penuh kegembiraan seraya berkata: "Mama, aku sekarang menjadi seorang muslimah, karena jasa Afnan yang terus mendakwahiku. Dia telah mengajarkan kepadaku tentang Islam." Maka akupun sangat bergembira mendengar kabar baik ini.<br /><br />Saat Afnan duduk di kelas 3 SMP, pamannya memintanya hadir dalam pesta pernikahannya. Dia memaksa Afnan untuk hadir, jika tidak maka dia tidak akan ridha kepadanya sepanjang hidupnya. Akhirnya Afnan menyetujui permintaannya setelah ia mendesak dengan sangat, dan juga karena Afnan sangat mencintai pamannya tersebut.<br /><br />Afnan bersiap untuk mendatangi pernikahan itu. Dia mengenakan sebuah gaun yang menutupi seluruh tubuhnya. Dia adalah seorang gadis yang sangat cantik. Setiap orang yang melihatnya akan terkagum-kagum dengan kecantikannya. Semua orang kagum dan bertanya-tanya, siapa gadis ini? Mengapa engkau menyembunyikannya dari kami selama ini?<br /><br />Setelah menghadiri pernikahan pamannya, Afnan terserang kanker tanpa kami ketahui. Dia merasakan sakit yang teramat sakit pada kakinya. Dia menyembunyikan rasa sakit tersebut dan berkata: "Sakit ringan di kakiku." Sebulan setelah itu dia menjadi pincang, saat kami bertanya kepadanya, dia menjawab: "Sakit ringan, akan segera hilang insya Allah." Setelah itu dia tidak mampu lagi berjalan. Kamipun membawanya ke rumah sakit.<br /><br />Selesailah pemeriksaan dan diagnosa yang sudah semestinya. Di dalam salah satu ruangan di rumah sakit tersebut, sang dokter berkebangsaan Turki mengumpulkanku, ayahnya, dan pamannya. Hadir pula pada saat itu seorang penerjemah, dan seorang perawat yang bukan muslim. Sementara Afnan berbaring di atas ranjang.<br /><br />Dokter mengabarkan kepada kami bahwa Afnan terserang kanker di kakinya, dan dia akan memberikan 3 suntikan kimiawi yang akan merontokkan seluruh rambut dan alisnya. Akupun terkejut dengan kabar ini. Kami duduk menangis. Adapun Afnan, saat dia mengetahui kabar tersebut dia sangat bergembira dan berkata: "Alhamdulillah… alhamdulillah… alhamdulillah." Akupun mendekatkan dia di dadaku sementara aku dalam keadaan menangis. Dia berkata: "Wahai ummi, alhamdulillah, musibah ini hanya menimpaku, bukan menimpa agamaku."<br />Diapun bertahmid memuji Allah dengan suara keras, sementara semua orang melihat kepadanya dengan tercengang!!<br /><br />Aku merasa diriku kecil, sementara aku melihat gadis kecilku ini dengan kekuatan imannya dan aku dengan kelemahan imanku. Setiap orang yang bersama kami sangat terkesan dengan kejadian ini dan kekuatan imannya. Adapun penerjamah dan para perawat, merekapun menyatakan keislamannya!!<br /><br />Berikutnya adalah perjalanan dia untuk berobat dan berdakwah kepada Allah.<br />Sebelum Afnan memulai pengobatan dengan bahan-bahan kimia, pamannya meminta akan menghadirkan gunting untuk memotong rambutnya sebelum rontok karena pengobatan. Diapun menolak dengan keras. Aku mencoba untuk memberinya pengertian agar memenuhi keinginan pamannya, akan tetapi dia menolak dan bersikukuh seraya berkata: "Aku tidak ingin terhalangi dari pahala bergugurannya setiap helai rambut dari kepalaku."<br /><br />Kami (aku, suamiku dan Afnan) pergi untuk yang pertama kalinya ke Amerika dengan pesawat terbang. Saat kami sampai di sana, kami disambut oleh seorang dokter wanita Amerika yang sebelumnya pernah bekerja di Saudi selama 15 tahun. Dia bisa berbicara bahasa Arab. Saat Afnan melihatnya, dia bertanya kepadanya: "Apakah engkau seorang muslimah?" Dia menjawab: "Tidak."<br /><br />Afnanpun meminta kepadanya untuk mau pergi bersamanya menuju ke sebuah kamar yang kosong. Dokter wanita itupun membawanya ke salah satu ruangan. Setelah itu dokter wanita itu kemudian mendatangiku sementara kedua matanya telah terpenuhi linangan air mata. Dia mengatakan bahwa sesungguhnya sejak 15 tahun dia di Saudi, tidak pernah seorangpun mengajaknya kepada Islam. Dan di sini datang seorang gadis kecil yang mendakwahinya. Akhirnya dia masuk Islam melalui tangannya.<br /><br />Di Amerika, mereka mengabarkan bahwa tidak ada obat baginya kecuali mengamputasi kakinya, karena dikhawatirkan kanker tersebut akan menyebar sampai ke paru-paru dan akan mematikannya. Akan tetapi Afnan sama sekali tidak takut terhadap amputasi, yang dia khawatirkan adalah perasaan kedua orang tuanya.<br /><br />Pada suatu hari Afnan berbicara dengan salah satu temanku melalui Messenger. Afnan bertanya kepadanya: "Bagaimana menurut pendapatmu, apakah aku akan menyetujui mereka untuk mengamputasi kakiku?" Maka dia mencoba untuk menenangkannya, dan bahwa mungkin bagi mereka untuk memasang kaki palsu sebagai gantinya. Maka Afnan menjawab dengan satu kalimat: "Aku tidak memperdulikan kakiku, yang aku inginkan adalah mereka meletakkanku di dalam kuburku sementara aku dalam keadaan sempurna." Temanku tersebut berkata: "Sesungguhnya setelah jawaban Afnan, aku merasa kecil di hadapan Afnan. Aku tidak memahami sesuatupun, seluruh pikiranku saat itu tertuju kepada bagaimana dia nanti akan hidup, sedangkan fikirannya lebih tinggi dari itu, yaitu bagaimana nanti dia akan mati."<br />Kamipun kembali ke Saudi setelah kami amputasi kaki Afnan, dan tiba-tiba kanker telah menyerang paru-paru!!<br /><br />Keadaannya sungguh membuat putus asa, karena mereka meletakkannya di atas ranjang, dan di sisinya terdapat sebuah tombol. Hanya dengan menekan tombol tersebut maka dia akan tersuntik dengan jarum bius dan jarum infus.<br /><br />Di rumah sakit tidak terdengar suara adzan, dan keadaannya seperti orang yang koma. Tetapi hanya dengan masuknya waktu shalat dia terbangun dari komanya, kemudian meminta air, kemudian wudhu` dan shalat, tanpa ada seorangpun yang membangunkannya!!<br />Di hari-hari terakhir Afnan, para dokter mengabari kami bahwa tidak ada gunanya lagi ia di rumah sakit. Sehari atau dua hari lagi dia akan meninggal. Maka memungkinkan bagi kami untuk membawanya ke rumah. Aku ingin dia menghabiskan hari-hari terakhirnya di rumah ibuku.<br /><br />Di rumah, dia tidur di sebuah kamar kecil. Aku duduk di sisinya dan berbicara dengannya.<br />Pada suatu hari, istri pamannya datang menjenguk. Aku katakan bahwa dia berada di dalam kamar sedang tidur. Ketika dia masuk ke dalam kamar, dia terkejut kemudian menutup pintu. Akupun terkejut dan khawatir terjadi sesuatu pada Afnan. Maka aku bertanya kepadanya, tetapi dia tidak menjawab. Maka aku tidak mampu lagi menguasai diri, akupun pergi kepadanya. Saat aku membuka kamar, apa yang kulihat membuatku tercengang. Saat itu lampu dalam keadaan dimatikan, sementara wajah Afnan memancarkan cahaya di tengah kegelapan malam. Dia melihat kepadaku kemudian tersenyum. Dia berkata: "Ummi, kemarilah, aku mau menceritakan sebuah mimpi yang telah kulihat." Kukatakan: "(Mimpi) yang baik Insya Allah." Dia berkata: "Aku melihat diriku sebagai pengantin di hari pernikahanku, aku mengenakan gaun berwarna putih yang lebar. Engkau, dan keluargaku, kalian semua berada disekelilingku. Semuanya berbahagia dengan pernikahanku, kecuali engkau ummi."<br /><br />Akupun bertanya kepadanya: "Bagaimana menurutmu tentang tafsir mimpimu tersebut." Dia menjawab: "Aku menyangka, bahwasannya aku akan meninggal, dan mereka semua akan melupakanku, dan hidup dalam kehidupan mereka dalam keadaan berbahagia kecuali engkau ummi. Engkau terus mengingatku, dan bersedih atas perpisahanku." Benarlah apa yang dikatakan Afnan. Aku sekarang ini, saat aku menceritakan kisah ini, aku menahan sesuatu yang membakar dari dalam diriku, setiap kali aku mengingatnya, akupun bersedih atasnya.<br />Pada suatu hari, aku duduk dekat dengan Afnan, aku, dan ibuku. Saat itu Afnan berbaring di atas ranjangnya kemudian dia terbangun. Dia berkata: "Ummi, mendekatlah kepadaku, aku ingin menciummu." Maka diapun menciumku. Kemudian dia berkata: "Aku ingin mencium pipimu yang kedua." Akupun mendekat kepadanya, dan dia menciumku, kemudian kembali berbaring di atas ranjangnya. Ibuku berkata kepadanya: "Afnan, ucapkanlah la ilaaha illallah."<br />Maka dia berkata: "Asyhadu alla ilaaha illallah."<br /><br />Kemudian dia menghadapkan wajah ke arah qiblat dan berkata: "Asyhadu allaa ilaaha illallaah." Dia mengucapkannya sebanyak 10 kali. Kemudian dia berkata: "Asyhadu allaa ilaaha illallahu wa asyhadu anna muhammadan rasuulullaah." Dan keluarlah rohnya.<br /><br />Maka kamar tempat dia meninggal di dalamnya dipenuhi oleh aroma minyak kasturi selama 4 hari. Aku tidak mampu untuk tabah, keluargaku takut akan terjadi sesuatu terhadap diriku. Maka merekapun meminyaki kamar tersebut dengan aroma lain sehingga aku tidak bisa lagi mencium aroma Afnan. Dan tidak ada yang aku katakan kecuali alhamdulillahi rabbil 'aalamin. (AR)*<br /><br />Penulis: Ummu Mariah Iman Zuhair<br />Sumber: <a href="http://qiblati.com/kisah-gadis-kecil-yang-shalihah.html">http://qiblati.com</a> </span>Wahyudi Abu Fauzanhttp://www.blogger.com/profile/03444204196705043406noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3161093143735862998.post-21128027402625913192011-06-27T18:05:00.000-07:002011-06-27T18:22:20.085-07:00Kisah Menakjubkan Tentang Sabar dan Syukur Kepada AllahBagi orang yang sering mengamati isnad hadits maka nama Abu Qilabah bukanlah satu nama yang asing karena sering sekali ia disebutkan dalam isnad-isnad hadits, terutama karena ia adalah seorang perawi yang meriwayatkan hadits dari sahabat Anas bin Malik yang merupakan salah seorang dari tujuh sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu nama Abu Qilabah sering berulang-ulang seiring dengan sering diulangnya nama Anas bin Malik. Ibnu Hibban dalam kitabnya Ats-Tsiqoot menyebutkan kisah yang ajaib dan menakjubkan tentangnya yang menunjukan akan kuatnya keimanannya kepada Allah.<br /><br />Nama beliau adalah Abdullah bin Zaid Al-Jarmi salah seorang dari para ahli ibadah dan ahli zuhud yang berasal dari Al-Bashroh. Beliau meriwayatkan hadits dari sahabat Anas bin Malik dan sahabat Malik bin Al-Huwairits –radhiallahu 'anhuma- . Beliau wafat di negeri Syam pada tahun 104 Hijriah pada masa kekuasaan Yazid bin Abdilmalik.<br /><br /><span class="fullpost">Abdullah bin Muhammad berkata, "Aku keluar menuju tepi pantai dalam rangka untuk mengawasi (menjaga) kawasan pantai (dari kedatangan musuh)…tatkala aku tiba di tepi pantai tiba-tiba aku telah berada di sebuah dataran lapang di suatu tempat (di tepi pantai) dan di dataran tersebut terdapat sebuah kemah yang di dalamnya terdapat seseorang yang telah buntung kedua tangan dan kedua kakinya, dan pendengarannya telah lemah serta matanya telah rabun. Tidak satu anggota tubuhnyapun yang bermanfaat baginya kecuali lisannya, orang itu berkata, "Ya Allah, tunjukilah aku agar aku bisa memujiMu sehingga aku bisa menunaikan rasa syukurku atas kenikmatan-kenikmatan yang telah Engkau anugrahkan kepadaku dan Engkau sungguh telah melebihkan aku diatas kebanyakan makhluk yang telah Engkau ciptakan""<br /><br />Abdullah bin Muhammad berkata, "Demi Allah aku akan mendatangi orang ini, dan aku akan bertanya kepadanya bagaimana ia bisa mengucapkan perkataan ini, apakah ia faham dan tahu dengan apa yang diucapkannya itu?, ataukah ucapannya itu merupakan ilham yang diberikan kepadanya??.<br /><br />Maka akupun mendatanginya lalu aku mengucapkan salam kepadanya, lalu kukatakan kepadanya, "Aku mendengar engkau berkata "Ya Allah, tunjukilah aku agar aku bisa memujiMu sehingga aku bisa menunaikan rasa syukurku atas kenikmatan-kenikmatan yang telah Engkau anugrahkan kepadaku dan Engkau sungguh telah melebihkan aku diatas kebanyakan makhluk yang telah Engkau ciptakan", maka nikmat manakah yang telah Allah anugrahkan kepadamu sehingga engkau memuji Allah atas nikmat tersebut??, dan kelebihan apakah yang telah Allah anugrahkan kepadamu hingga engkau menysukurinya??"<br /><br />Orang itu berkata, "Tidakkah engkau melihat apa yang telah dilakukan oleh Robku kepadaku?, demi Allah, seandainya Ia mengirim halilintar kepadaku hingga membakar tubuhku atau memerintahkan gunung-gunung untuk menindihku hingga menghancurkan tubuhku, atau memerintahkan laut untuk menenggelamkan aku, atau memerintahkan bumi untuk menelan tubuhku, maka tidaklah hal itu kecuali semakin membuat aku bersyukur kepadaNya karena Ia telah memberikan kenikmatan kepadaku berupa lidah (lisan)ku ini. Namun, wahai hamba Allah, engkau telah mendatangiku maka aku perlu bantuanmu, engkau telah melihat kondisiku. Aku tidak mampu untuk membantu diriku sendiri atau mencegah diriku dari gangguan, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku memiliki seorang putra yang selalu melayaniku, di saat tiba waktu sholat ia mewudhukan aku, jika aku lapar maka ia menyuapiku, jika aku haus maka ia memberikan aku minum, namun sudah tiga hari ini aku kehilangan dirinya maka tolonglah engkau mencari kabar tentangya –semoga Allah merahmati engkau-". Aku berkata, "Demi Allah tidaklah seseorang berjalan menunaikan keperluan seorang saudaranya yang ia memperoleh pahala yang sangat besar di sisi Allah, lantas pahalanya lebih besar dari seseorang yang berjalan untuk menunaikan keperluan dan kebutuhan orang yang seperti engkau". Maka akupun berjalan mencari putra orang tersebut hingga tidak jauh dari situ aku sampai di suatu gudukan pasir, tiba-tiba aku mendapati putra orang tersebut telah diterkam dan di makan oleh binatang buas, akupun mengucapkan inna lillah wa inna ilaihi roji'uun. Aku berkata, "Bagaimana aku mengabarkan hal ini kepada orang tersebut??". Dan tatkala aku tengah kembali menuju orang tersebut, maka terlintas di benakku kisah Nabi Ayyub ‘alaihissalam. Tatkala aku menemui orang tersbut maka akupun mengucapkan salam kepadanya lalu ia menjawab salamku dan berkata, "Bukankah engkau adalah orang yang tadi menemuiku?", aku berkata, "Benar". Ia berkata, "Bagaimana dengan permintaanku kepadamu untuk membantuku?". Akupun berkata kepadanya, "Engkau lebih mulia di sisi Allah ataukah Nabi Ayyub ‘alaihissalam?", ia berkata, "Tentu Nabi Ayyub ‘alaihissalam ", aku berkata, "Tahukah engkau cobaan yang telah diberikan Allah kepada Nabi Ayyub?, bukankah Allah telah mengujinya dengan hartanya, keluarganya, serta anaknya?", orang itu berkata, "Tentu aku tahu". Aku berkata, "Bagaimanakah sikap Nabi Ayyub dengan cobaan tersebut?", ia berkata, "Nabi Ayyub bersabar, bersyukur, dan memuji Allah". Aku berkata, "Tidak hanya itu, bahkan ia dijauhi oleh karib kerabatnya dan sahabat-sahabatnya", ia berkata, "Benar". Aku berkata, "Bagaimanakah sikapnya?", ia berkata, "Ia bersabar, bersyukur dan memuji Allah". Aku berkata, "Tidak hanya itu, Allah menjadikan ia menjadi bahan ejekan dan gunjingan orang-orang yang lewat di jalan, tahukah engkau akan hal itu?", ia berkata, "Iya", aku berkata, "Bagaimanakah sikap nabi Ayyub?", ia berkata, "Ia bersabar, bersyukur, dan memuji Allah, lagsung saja jelaskan maksudmu –semoga Allah merahmatimu-!!". Aku berkata, "Sesungguhnya putramu telah aku temukan di antara gundukan pasir dalam keadaan telah diterkam dan dimakan oleh binatang buas, semoga Allah melipatgandakan pahala bagimu dan menyabarkan engkau". Orang itu berkata, "Segala puji bagi Allah yang tidak menciptakan bagiku keturunan yang bermaksiat kepadaNya lalu Ia menyiksanya dengan api neraka", kemudian ia berkata, "Inna lillah wa inna ilaihi roji'uun", lalu ia menarik nafas yang panjang lalu meninggal dunia. Aku berkata, "Inna lillah wa inna ilaihi roji'uun", besar musibahku, orang seperti ini jika aku biarkan begitu saja maka akan dimakan oleh binatang buas, dan jika aku hanya duduk maka aku tidak bisa melakukan apa-apa. Lalu akupun menyelimutinya dengan kain yang ada di tubuhnya dan aku duduk di dekat kepalanya sambil menangis. Tiba-tiba datang kepadaku empat orang dan berkata kepadaku "Wahai Abdullah, ada apa denganmu?, apa yang telah terjadi?". Maka akupun menceritakan kepada mereka apa yang telah aku alami. Lalu mereka berkata, "Bukalah wajah orang itu, siapa tahu kami mengenalnya!", maka akupun membuka wajahnya, lalu merekapun bersungkur mencium keningnya, mencium kedua tangannya, lalu mereka berkata, "Demi Allah, matanya selalu tunduk dari melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah, demi Allah tubuhnya selalu sujud tatkala orang-orang dalam keadaan tidur!!". Aku bertanya kepada mereka, "Siapakah orang ini –semoga Allah merahmati kalian-?", mereka berkata, Abu Qilabah Al-Jarmi sahabat Ibnu 'Abbas, ia sangat cinta kepada Allah dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu kamipun memandikannya dan mengafaninya dengan pakaian yang kami pakai, lalu kami menyolatinya dan menguburkannya, lalu merekapun berpaling dan akupun pergi menuju pos penjagaanku di kawasan perbatasan. Tatkala tiba malam hari akupun tidur dan aku melihat di dalam mimpi ia berada di taman surga dalam keadaan memakai dua lembar kain dari kain surga sambil membaca firman Allah:<br /><br />"Keselamatan bagi kalian (dengan masuk ke dalam surga) karena kesabaran kalian, maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu." (QS. 13:24)<br /><br />Lalu aku berkata kepadanya, "Bukankah engkau adalah orang yang aku temui?", ia berkata, "Benar", aku berkata, "Bagaimana engkau bisa memperoleh ini semua", ia berkata, "Sesungguhnya Allah menyediakan derajat-derajat kemuliaan yang tinggi yang tidak bisa diperoleh kecuali dengan sikap sabar tatkala ditimpa dengan bencana, dan rasa syukur tatkala dalam keadaan lapang dan tentram bersama dengan rasa takut kepada Allah baik dalam keadaan bersendirian maupun dalam kaeadaan di depan khalayak ramai"<br /><br />Penulis: Firanda Andirja<br />Artikel <a href="http://firanda.com/">www.firanda.com</a><br /></span>Wahyudi Abu Fauzanhttp://www.blogger.com/profile/03444204196705043406noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3161093143735862998.post-26667198981038400252010-09-09T07:48:00.000-07:002010-09-09T07:54:12.909-07:00Mutiara Hikmah Dari Ulama SalafImam al-Auza'i berkata, ''Bersabarlah kalian di atas sunnah. Tetaplah tegak sebagaimana para sahabat tegak di atasnya. Katakanlah sebagaimana yang mereka katakan. Tahanlah dirimu dari apa-apa yang mereka menahan diri darinya, dan ikutilah jalan salafush shalih.''Wahyudi Abu Fauzanhttp://www.blogger.com/profile/03444204196705043406noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3161093143735862998.post-87140671349719354722009-10-10T13:16:00.000-07:002009-10-10T13:29:51.138-07:00Jika Umur Telah Mencapai Empat Puluh TahunOleh : Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim<br /><br />Saudaraku tercinta, di manakah kita di antara mereka?<br />‘Abdullah bin Dawud berkata, <span style="font-style: italic;">“Adalah salah satu dari mereka (kaum Salaf), jika umurnya telah mencapai empat puluh tahun, maka mereka menggulung tempat tidurnya, mereka sama sekali tidak tidur. Akan tetapi memenuhi malamnya dengan shalat, tasbih, dan istighfar… mereka menggantikan waktu (umur) yang telah lalu dengan kebaikan dan menyiapkan diri untuk menghadapi kehidupan yang akan datang.”</span><br /><br />Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang cerdas,<br />mereka menolak dunia dan takut akan fitnahnya.<br />Mereka melihat apa yang ada di dalamnya, ketika mereka tahu,<br />bahwa tidak ada tempat bagi orang yang hidup di dalamnya.<br />Mereka menjadikannya sebagai gelombang,<br />dan menjadikan amal sebagai kapal.<br /><br />‘Abdullah bin Tsa'labah berkata dalam nasihatnya, <span style="font-style: italic;">“Tertawalah engkau, barangkali kain kafan untukmu telah ada di tangan tukang potong kain!!”</span>[1]<br /><br /><span class="fullpost"><br />Wahai orang yang sedang tidur, perjalanan telah dimulai. Wahai yang membuat bangunan di atas tangga-tangga yang penuh dengan air bah, cepatlah melakukan amal sebelum umurmu punah… janganlah engkau melupakan Dzat Yang menghitung hembusan nafasmu saat perjumpaan denganmu.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Saudaraku tercinta…</span><br /><span style="font-style: italic;">Ambillah rizki secukupnya,</span><br /><span style="font-style: italic;">ambillah yang jernih dari kehidupan ini.</span><br /><span style="font-style: italic;">ini semua akan berakhir,</span><br /><span style="font-style: italic;">bagaikan lentera ketika padam.</span><br /><br />Yahya bin Mu’adz rahimahullah berkata, <span style="font-style: italic;">“Dunia adalah tempat kesibukan, sedangkan akhirat adalah tempat terjadinya hal-hal yang menakutkan. Dan senantiasa seorang hamba ada di antara kesibukan dan juga kegoncangan (hal-hal yang menakutkan) sehingga datang kepadanya keputusan, ke Surgakah ia atau ke Neraka.”</span> [2]<br /><br />Saudaraku semuslim…<br />Siapa yang mencurahkan kemampuannya untuk berfikir dengan sempurna, dia akan memahami bahwa dunia ini adalah sebuah perjalanan, maka dia akan selalu mengumpulkan perbekalan untuknya. Dia juga tahu bahwa perjalanan tersebut dimulai dari punggung seorang ayah, menuju perut seorang ibu, lalu ke dunia, ke kuburan, setelah itu menuju alam Mahsyar, dan yang terakhir menuju tempat yang abadi. Inilah tempat keselamatan dari segala <span style="font-style: italic;">“penyakit,”</span> yaitu tempat yang kekal abadi. Sedangkan syaitan menawan kita untuk tetap menuju dunia, sehingga kita terus bersemangat dalam keluarga yang hancur berantakan, kemudian dia selalu mendorong kita menuju tempat kita semula. Ketahuilah bahwa batas kehidupan di dunia hanyalah hitungan nafas, perjalanan yang cepat dan tak terasa bagaikan perjalanan sebuah kapal yang tidak dirasakan oleh penumpang yang duduk di atasnya.<br /><br />Sudah semestinya, dia harus memiliki bekal, dan tidak ada bekal menuju perjalanan akhirat kecuali ketakwaan. Oleh karena itu, seseorang haruslah sabar dan merasakan lelahnya kehidupan dalam melaksanakan ketakwaan, sehingga dalam perjalanannya dia tidak berkata, <span style="font-style: italic;">“Ya Rabb-ku! Kembalikanlah aku.”</span> Dan dikatakan kepadanya, <span style="font-style: italic;">“Tidak!”</span> Maka hendaklah orang yang lalai mewaspadai sifat malas dalam perjalanannya, karena sesungguhnya Allah akan memperlihatkan tanda-tanda kekuasaan-Nya bagi orang yang memutuskan perjalanannya sebagai ancaman baginya dengan harapan agar mereka tidak menyimpang dari jalan yang lurus. Siapa yang menyimpang dari jalan-Nya yang lurus lalu melihat sesuatu yang ditakutinya, maka kembalilah kepada Allah dari jalan yang dilaluinya dengan bertaubat dari kemaksiatan.[3]<br /><br />Keadaan di dunia sebagaimana disifati oleh ar-Rabi' bin Khaitsam, ketika beliau ditanya, <span style="font-style: italic;">“Bagaimana keadaanmu pagi ini wahai Abu Yazid?”</span> Beliau menjawab, <span style="font-style: italic;">“Di pagi ini aku berada dalam keadaan lemah dan penuh dengan dosa, kita memakan rizki kita sambil menunggu ajal kita.”</span> [4]<br /><br />Syumaith bin ‘Ajlan jika menyifati ahli dunia, beliau berkata, <span style="font-style: italic;">“Mereka semua bingung dan mabuk, penunggang kudanya berlari, sedangkan pejalan kaki berjalan dengan kakinya, yang fakir dan yang kaya tidak pernah merasa puas di dalamnya.”</span> [5]<br /><br />Saudaraku…<br />Bersikap qana’ah-lah dengan duniamu dan relalah dengan yang ada padamu, karena di dalamnya tidak ada kesenangan selain kesenangan badan. Siapa saja yang mempersiapkan dirinya untuk berjumpa dengan Allah, dan menggunakan waktunya untuk melakukan amal-amal yang bemanfaat baginya, maka Allah akan memberikan kemanfaatan baginya di hari Kiamat. Oleh karena itu, dia akan berbahagia pada suatu hari di mana harta dan anak tidak berguna… hari di mana lembaran-lembaran bertebaran dan hati bergetar. Pada hari itu engkau melihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal mereka sama sekali tidak mabuk, akan tetapi penyebabnya adalah adzab Allah sangatlah pedih. Anas bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, <span style="font-style: italic;">“Aku melihat Shaf-wan bin Salim, jika dikatakan kepadanya besok hari Kiamat, maka seakan-akan dia sama sekali tidak me-miliki bekal dari ibadah.”</span> [6]<br /><br />Mereka adalah kaum yang selalu melakukan ibadah dengan giat dan memikirkan kehidupan akhirat mereka dengan mempersiapkan bekal untuknya.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Jika jiwa itu menjauh dari kebenaran,</span><br /><span style="font-style: italic;">maka kita membentaknya.</span><br /><span style="font-style: italic;">Dan jika dia menghadap dunia dengan</span><br /><span style="font-style: italic;">meninggalkan akhirat,</span><br /><span style="font-style: italic;">maka kita menahannya.</span><br /><span style="font-style: italic;">Dia menipu kita dan kita menipunya, </span><br /><span style="font-style: italic;">hanya dengan kesabaran kita dapat mengalahkannya.</span> [7]<br /><br />Muhammad bin al-Hanafiyyah rahimahullah berkata, <span style="font-style: italic;">“Segala sesuatu yang dicari bukan karena Allah, niscaya akan hancur.”</span> [8]<br /><br />Siapa yang mencari dunia untuk dunia, maka dia akan meninggalkannya di hembusan nafas terakhirnya, dia akan pergi di detik-detik yang sangat menakutkan. Dan siapa yang mencari dunia untuk Surga yang luasnya seluas langit dan bumi, maka cukuplah baginya apa yang diinginkannya. Dunia baginya sebagai jalan menuju Darus Salam (Surga) dengan kasih sayang (rahmat) Allah dan ridha/karunia-Nya.<br /><br />Orang yang selalu melakukan kebaikan dan ketaatan adalah manusia biasa, seperti kita yang mencintai dunia dan segala macam perhiasannya. Akan tetapi mereka lebih mengutamakan yang kekal daripada yang fana, sehingga Allah memudahkan baginya jalan untuk mendapatkannya dan mengeluarkan mereka dari berbagai kesulitan.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Aku sabar dalam menghadapi kenikmatan ketika dia pergi,</span><br /><span style="font-style: italic;">dan aku menetapkan kesabaran di dalam diriku sehingga dia terus menetap.</span><br /><span style="font-style: italic;">Berhari-hari jiwaku berada dalam kemuliaan,</span><br /><span style="font-style: italic;">lalu ketika dia melihat tekadku ada di dalam kehinaan, dia pun ikut merasakan kehinaan.</span><br /><span style="font-style: italic;">Lalu aku berkata kepadanya, “Wahai jiwa, matilah dalam keadaan mulia,</span><br /><span style="font-style: italic;">dahulu dunia memihak kepada kita, tetapi sekarang dia telah pergi.”</span><br /><span style="font-style: italic;">Tidak wahai kekasihku. Demi Allah, tidak ada satu musibah pun,</span><br /><span style="font-style: italic;">berlalu kepada hari-hari melainkan dia akan pergi.</span><br /><span style="font-style: italic;">Jiwa itu sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang kepadanya, jika dia diberi makan, </span><br /><span style="font-style: italic;">maka dia memiliki kekuatan dan jika tidak, maka dia akan lumpuh.</span>[9]<br /><br />Seseorang berkata kepada al-Fudhail bin 'Iyadh, <span style="font-style: italic;">“Bagaimana keadaanmu pagi ini wahai Abu ‘Ali?”</span> Beliau adalah orang yang tidak senang dengan ungkapan: <span style="font-style: italic;">“Bagaimana keadaanmu pagi ini?”</span> atau <span style="font-style: italic;">“Bagaimana keadaanmu sore ini?”</span> Lalu beliau menjawab, <span style="font-style: italic;">“Dalam keadaan sehat.”</span> Lalu orang tadi bertanya, <span style="font-style: italic;">“Bagaimana keadaanmu?”</span> Beliau berkata, <span style="font-style: italic;">“Keadaan mana yang engkau tanyakan? Keadaan dunia atau akhirat?” Jika engkau menanyakan keadaan dunia, maka sesungguhnya dunia telah berpaling dan pergi. Dan jika engkau bertanya tentang keadaan akhirat, maka aku sebagaimana engkau melihat orang yang banyak melakukan perbuatan dosa, amalnya lemah, umurnya sudah punah, tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian dan hari Akhir, tidak takut akan kematian, tidak menghias diri untuk menghadapi kematian, akan tetapi hanya menghias diri untuk dunia.”</span>[10]<br /><br />Kebanyakan dari kita sebagaimana digambarkan oleh ‘Auf bin ‘Abdillah ketika beliau ditanya, <span style="font-style: italic;">“Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menyempatkan kehidupannya untuk dunia dengan sisa hidupnya untuk akhirat, sedangkan kalian menyempatkan kehidupan kalian untuk akhirat dengan sisa hidup kalian untuk dunia.”</span> [11]<br /><br />Dan yang kita lihat sekarang ini berupa pengorbanan waktu, kemampuan, pemberian, dan penelitian hanya untuk dunia, maka kita dapatkan sungguh menakjubkan… . Bahkan sebagian dari mereka jika akan membeli sebuah kebutuhan yang sangat sederhana, akan menyibukkan dirinya untuk memikirkannya selama beberapa hari, dia telah membuang waktunya yang sangat berharga… . Akan tetapi jika engkau melihatnya di dalam masjid, maka engkau akan melihat orang tersebut melakukan shalat, seperti ayam yang sedang makan, dia sama sekali tidak memperhatikan sujud maupun ruku’nya, bahkan dia mendahului imam, tidak melakukannya dengan khusyu’, dan tidak pernah terlihat di mukanya bekas air mata.<br /><br />Kebanyakan dari manusia mabuk dengan urusan dunia dan tidak sedikit pun hatinya tergerak ketika kesempatan melakukan kebaikan hilang dari dirinya, atau ketika kesempatan yang penuh dengan pengabulan do’a dari Allah tiba, maka engkau akan melihatnya dalam keadaan lalai dan bermain-main, mengumpulkan lalu membuangnya, menambahnya lalu dikurangi dari dirinya, seolah-olah hari-hari yang telah berlalu akan kembali atau bulan-bulan yang telah pergi akan ditemuinya lagi?!<br /><br />Bandar berbicara tentang Yahya bin Sa’id dengan ungkapannya, <span style="font-style: italic;">“Aku ikut bersamanya selama dua puluh tahun dan aku sama sekali tidak pernah mendapatinya bermaksiat kepada Allah.”</span>[12]<br /><br />Saudaraku semuslim…<br />Bersabarlah dalam menghadapi pedihnya perjalanan, ibadah di waktu malam, sore dan pagi.<br />Janganlah engkau merasa gelisah dan jangan pula merasakan lemah di dalam mencarinya, karena kegalauan ada di antara gelisah dan putus asa. Aku menyaksikan pengalaman di setiap hari, bahwa kesabaran memiliki akibat yang terpuji. Sedikit sekali orang yang giat mencari dengan disertai, kesabaran kecuali dia akan berbahagia dengan kemenangan. [13]<br /><br />Yahya bin Mu’adz rahimahullah berkata, <span style="font-style: italic;">“Wahai manusia engkau mencari dunia dengan sungguh-sungguh, dan engkau mencari akhirat dengan usaha orang yang tidak membutuhkannya. Padahal dunia sudah mencukupimu walaupun engkau tidak mencarinya. Dan akhirat hanya didapatkan dengan usaha yang sungguh-sungguh dalam mencarinya, maka fahamilah keadaanmu!”</span><br /><br />[Disalin dari kitab <span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Ad-Dun-yaa Zhillun Zaa-il</span>, Penulis ‘Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim, Edisi Indonesia <span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Menyikapi Kehidupan Dunia Negeri Ujian Penuh Cobaan</span>, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]<br />__________<br /><span style="font-style: italic;">Footnotes</span><br />[1]. <span style="font-style: italic;">Al-‘Aaqibah</span>, hal. 88.<br />[2]. <span style="font-style: italic;">Az-Zuhd</span>, hal. 248, karya al-Baihaqi.<br />[3]. <span style="font-style: italic;">‘Iddatush Shaabiriin</span>, hal. 330.<br />[4]. <span style="font-style: italic;">Shifatush Shafwah</span> (III/67).<br />[5]. <span style="font-style: italic;">Shifatush Shafwah</span> (III/346).<br />[6]. <span style="font-style: italic;">Hilyatul Auliyaa'</span> (III/159).<br />[7]. <span style="font-style: italic;">Shifatush Shafwah</span> (IV/114).<br />[8]. <span style="font-style: italic;">Hilyatul Auliyaa’</span> (III/176).<br />[9]. <span style="font-style: italic;">Syadzaraatudz Dzahab</span> (II/364).<br />[10]. <span style="font-style: italic;">Hilyatul Auliyaa’</span> (VIII/86).<br />[11]. <span style="font-style: italic;">Hilyatul Auliyaa’</span> (IV/242).<br />[12]. <span style="font-style: italic;">Tadzkiratul Huffazh</span> (I/299).<br />[13]. <span style="font-style: italic;">Mawaariduzh Zham-aan</span> (III/276).<br /><br />Sumber : <a href="http://www.almanhaj.or.id/content/2529/slash/0"><span style="font-style: italic;">almanhaj.or.id</span></a><br /></span>Wahyudi Abu Fauzanhttp://www.blogger.com/profile/03444204196705043406noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3161093143735862998.post-52093069436970374352009-09-19T00:21:00.000-07:002009-09-20T08:25:32.207-07:00Ulama Salaf Dalam Kebencian Mereka Terhadap PopularitasDari Habib bin Abu Tsabit diriwayatkan bahwa ia berkata: “Suatu hari Ibnu Mas’ud keluar rumah. Tiba-tiba orang-orang mengikutinya. Beliau kemudian bertanya: <span style="font-style: italic;">“Apakah kalian membutuhkan sesuatu?”</span> Mereka menjawab: <span style="font-style: italic;">“Tidak, kami hanya ingin berjalan bersamamu.” </span>Beliau berkata: <span style="font-style: italic;">“Pulanglah, yang demikian itu adalah kehinaan bagi yang mengikuti dan malapetaka bagi yang diikuti.”</span> (<span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Shifatush Shofwah</span>, I:406).<br /><br />Al-Hasan pernah berkata: “Suatu hari aku pernah bersama Ibnul Mubarak. Kami mendatangi siqayah (tempat mengambil air minum) yang didatangi banyak orang untuk diambil airnya sebagai air minum. Lalu beliau mendekati perigi itu dan meminum airnya. Orang-orang tidka mengetahui bahwa beliau adalah Ibnul Mubarak. Maka merekapun berdesak-desakan sampai mendorong beliau. Ketika beliau keluar dari kerumunan, beliau berkata kepadaku: <span style="font-style: italic;">“Hanya beginilah kehidupan itu.”</span> Yakni pada saat kita tidak dikenal dan tidak dihormati.”<br /><br /><span class="fullpost"><br />Perawi meneruskan: “Ketika kami sedang berada di Kufah, beliau membacakan bab Manasik, sehingga beliau sampai pada suatu hadits, yang di dalamnya tercantum: <span style="font-style: italic;">“Demikian pendapat Abdullah dan demikian pulalah pendapat kami.”</span> Lalu beliau bertanya: <span style="font-style: italic;">“Siapa yang menulis bahwa ini adalah pendapat saya?”</span> Aku menjawab: <span style="font-style: italic;">“Tentu orang bertugas menulisnya.”</span> Beliau lalu terus saja menghapus tulisan itu dengan tangannya hingga hilang. <span style="font-style: italic;">“Siapa saya, sehingga pantas ditulis pendapat saya.”</span> (<span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Shifatush Shofwah</span>, IV: 135)<br /><br />Dari Muhammad bin al-Munkadir diriwayatkan bahwa ia berkata: “Ada sebuah tiang di masjid Rasulullah <span style="font-style: italic;">shalallahu’alaihi wasallam</span> yang biasa kugunakan untuk sholat dan belajar di malam hari. Pada waktu itu penduduk Madinah mengalami paceklik. Maka merekapun keluar menjalankan sholat Istisqa’. Namun hujan tidak juga turun. Pada malam harinya, seperti biasa aku sholat Isya’ di masjid Rasulullah <span style="font-style: italic;">shalallahu’alaihi wasallam</span> lalu aku mendatangi tiang itu dan menyandarkan tubuhku di sana (istirahat). Tiba-tiba datang seorang lelaki berkulit hitam kecoklat-coklatan, mengenakan kain sarung dan pada lehernya tergantung kain yang lebih kecil lagi. Lelaki itu kemudian mendekati tiang yang di depanku, sementara (tanpa dia ketahui) aku berada di belakangnya. Kemudian dia sholat dua raka’at dan berdoa: <span style="font-style: italic;">“Wahai Rabb-ku, para penduduk kota Nabi-Mu telah keluar meminta hujan, namun Engkau tidak juga mencurahkan hujan. Kini aku bersumpah atas Nama-Mu, turunkanlah hujan.” </span><br /><br />Ibnul Munkadir bergumam: <span style="font-style: italic;">“Jangan-jangan ini orang gila.”</span> Ia meneruskan: “Tatkala lelaki itu meletakkan tangannya, tiba-tiba aku mendengar suara guntur, diikuti dengan hujan yang turun dari langit yang menyebabkan diriku berkeinginan kembali ke rumah. Ketika ia mendengar suara hujan, ia segera memuji Allah dengan berbagai pujian yang belum pernah kudengar yang semacam itu sebelumnya.” Perawi melanjutkan: “Kemudian lelaki itu berkata: <span style="font-style: italic;">“Siapa saya, dan apa kedudukan saya, sehingga doa saya terkabul. Akan tetapi aku tetap berlindung dengan memuji Diri-Mu dan berlindung dengan Pertolongan-Mu.”</span> Lalu perawi melanjutkan: “Kemudian lelaki itu menggunakan kain yang digunakan untuk menyelimuti tubuhnya, lalu kain yang bergantung di punggungnya ia turunkan ke kakinya. Setelah itu ia sholat. Ia terus menjalankan sholatnya, sampai ia merasa akan datang Shubuh. Setelah itu ia melakukan sholat Witir dan sholat sunnah Fajar dua raka’at. Kemudian dikumandangkan iqomat Shubuh, ia turut sholat berjama’ah bersama orang banyak. Akupun turut sholat bersamanya. Setelah imam mengucapkan salam, ia segera bangkit dan keluar masjid. Akupun mengikutinya dari belakang hingga pintu masjid. Lalu dia mengangkat pakaiannya dan berjalan di air yang tergenang (karena hujan). Akupun ikut mengangkat pakaianku dan berjalan di genangan air. Namun kemudian aku kehilangan jejak.<br /><br />Pada malam selanjutnya, aku kembali sholat Isya’ di masjid Rasulullah <span style="font-style: italic;">shalallahu’alaihi wasallam</span>, lalu aku mendatangi tiang tersebut dan berbaring di sana. Tiba-tiba lelaki itu datang lagi dan berdiri di tempat biasa. Ia menyelimuti tubuhnya dengan kain, sementara kain lainnya yang berada di punggungnya ia selempangkan di kedua kakinya, kemudian melakukan sholat, sampai ia khawatir kalau datang waktu Shubuh, baru ia melakukan sholat Witir dan dua raka’at sunnah Fajar. Setelah itu iqomat berkumandang. Ia langsung sholat berjama’ah, akupun turut sholat bersamanya. Ketika imam telah mengucapkan salam, ia keluar. Aku juga keluar megikutinya. Ia berjalan dengan cepat. Akupun mengikutinya hingga sampai ke salah satu rumah di kota Madinah yang kukenal. Akupun kembali ke masjid.<br /><br />Setelah terbit matahari, dan aku telah menunaikan sholat Dhuha. Aku segera keluar mendatangi rumah tersebut. Kudapati dirinya sedang duduk menjahit. Ternyata ia tukang sepatu. Ketika ia melihatku, ia segera mengenaliku. Ia berkata: <span style="font-style: italic;">“Wahai Abu Abdillah, selamat datang. Ada yang bisa kubantu? Anda ingin saya buatkan sepatu?”</span> Aku segera duduk dan berkata: <span style="font-style: italic;">“Bukankah engkau yang menjadi temanku di malam yang pertama itu?”</span> Rona wajahnya berubah menghitam dan berteriak sambil berkata: <span style="font-style: italic;">“Wahai Ibnul Munkadir, apa rurusanmu dengan kejadian itu?”</span> Perawi melanjutkan: “Lelaki itu marah dan aku segera meninggalkannya.” Aku mengatakan: <span style="font-style: italic;">“Sekarang juga aku keluar dari tempat ini.”</span><br /><br />Pada malam ketiga, aku kembali sholat Isya’ di akhir waktu di masjid Rasulullah <span style="font-style: italic;">shalallahu’alaihi wasallam</span>, kemudian menuju tempatku untuk berbaring. Namun lelaki itu tak kunjung datang. Ibnul Munkadir bergumam: <span style="font-style: italic;">“Inna lillahi, apa yang telah aku perbuat?” </span><br /><br />Pagi harinya, aku duduk-duduk di masjid hingga matahari terbit. Kemudian aku keluar untuk mendatangi rumah yang ditempati lelaki tersebut. Ternyata kudapati pintunya terbuka, dan ternyata rumah itupun sudah tidak berpenghuni lagi. Pemilik rumah yang ditinggali lelaki itu bertanya kepadaku: <span style="font-style: italic;">“Wahai Abu Abdillah, apa yang terjadi antara anda dengan dirinya kemarin?”</span> Aku balik bertanya: <span style="font-style: italic;">“Apakah gerangan yang terjadi dengannya?”</span> Orang-orang di situ berkata: <span style="font-style: italic;">“Ketika anda keluar dari rumahnya kemarin, lelaki itu segera membentangkan kainnya di tengah ruangan rumahnya. Kemudian ia tidak menyisakan selembar kulit ataupun sepatu. Semuanya dia letakkan di dalam kainnya, lalu diangkut. Setelah itu kami tidak tahu kemana lagi dia pergi.”</span><br /><br />Muhammad bin al-Munkadir berkata: <span style="font-style: italic;">“Setiap rumah yang ada di kota Madinah yang kuketahui pasti kusinggahi untuk mencarinya. Namun aku tidak menemukannya lagi. Semoga Allah merahmatinya.”</span> (<span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Shifatush Shofwah</span>, II: 190-192)<br /><br />-------------------------<br />Disalin dengan ringkas dari kitab <span style="font-weight: bold; font-style: italic;">‘Ainu Nahnu min Akhlaqis-salaf</span>, penulis Abdul Aziz bin Nashir al-Jalil, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul <span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Sudah Salafikah Akhlaq Anda?</span>, hal. 52-59, oleh penerbit Pustaka at-Tibyan, Solo, cetakan kedua, April 2003 M.<br /><br /></span>Wahyudi Abu Fauzanhttp://www.blogger.com/profile/03444204196705043406noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3161093143735862998.post-49827468360285327852009-09-18T00:04:00.000-07:002009-09-20T08:24:10.458-07:00Kaidah Ahlussunnah wal Jama’ah Dalam Perkara TakfirAhlussunnah wal Jama’ah tidak mengkafirkan seorang muslim karena suatu dosa, yang tidak ada suatu dalilpun dari al-Qur-an dan as-Sunnah bahwa hal tersebut termasuk perbuatan kufur. Jika seorang hamba meninggal dunia dalam keadaan seperti ini –<span style="font-style: italic;">yakni selama tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa yang berbuat suatu dosa, dia kafir</span>-, maka perkaranya kembali kepada Allah Ta’ala, jika Allah berkehendak pasti dia disiksa, dan jika Dia berkehendak lain pasti diampuni. Lain halnya dengan firqah-firqah sesat dimana mereka menghukumi kafir bagi orang yang berbuat dosa besar atau dengan sebutan <span style="font-style: italic;">manzilah baina manzilatain</span> (dengan maksud ‘dia bukan muslim dan juga bukan kafir’).<br /><br />Sungguh Nabi <span style="font-style: italic;">shalallahu’alaihi wasallam</span> telah memperingatkan akan hal itu dalam sabdanya: <span style="font-style: italic;">“Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya: ‘Wahai kafir!’ maka pasti ungkapan tersebut kembali kepada salah satu di antara dua orang itu, jika benar-benar seperti yang dia ucapkan, dan kalau tidak maka ungkapan tadi akan kembali kepada orang yang mengatakan sendiri.”</span> (HR. Muslim, no. 60 dan Ahmad (II/44) dari sahabat Ibnu ‘Umar <span style="font-style: italic;">radhiallahu’anhu</span>)<br /><br /><span class="fullpost"><br />Dan sabdanya pula: <span style="font-style: italic;">“Barangsiapa memanggil seseorang dengan kekafiran atau dengan ucapan: ‘Wahai musuh Allah!’, sedangkan faktanya tidak demikian melainkan akan kembali kepadanya.”</span> (HR. al-Bukhari dalam <span style="font-weight: bold; font-style: italic;">‘Adabul Mufrad</span>, no. 433 dan Muslim, no. 61 dari sahabat Abu Dzarr al-Ghifari).<br /><br />Beliau juga bersabda: <span style="font-style: italic;">“Tiada seseorang melempar (ucapan kepada) orang lain dengan kefasikan maupun kekufuran, melainkan ucapan tersebut pasti kembali kepadanya, jika temannya (yang dicela) itu tidak ada sifat yang demikian.”</span> (HR. al-Bukhari, no. 6045 dalam kitab <span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Shahih</span>-nya dan Ahmad (V/181) dari sahabat Abu Dzarr al-Ghifari).<br /><br />Beliau bersabda: <span style="font-style: italic;">“Barangsiapa menuduh seorang mukmin dengan kekafiran, maka ia seperti membunuhnya.”</span> (HR. al-Bukhari, no. 6105 dari Tsabit bin adh-Dhahhak).<br /><br />Beliau bersabda pula: <span style="font-style: italic;">“Jika seseorang mengatakan kepada saudaranya: ‘Wahai orang kafir!’ maka pasti ungkapan tersebut kembali kepada salah satu di antara kedua orang itu.”</span> (HR. al-Bukhari, no. 6103 dari Abu Hurairah).<br /><br />Ahlussunnah wal Jama’ah membedakan antara hukum secara mutlak terhadap ahli bid’ah yang disebabkan kemaksiatan atau kekafiran dengan hukum secara khusus terhadap seorang muslim yang diyakini ke-Islaman-nya, yang timbul darinya suatu perbuatan bid’ah, bahwa dia adalah orang yang bermaksiat, fasik atau kafir. Maka, Ahlussunnah tidak menghukumi orang tersebut sampai dijelaskan kebenaran kepadanya, yaitu dengan cara <span style="font-style: italic;">iqomatul hujjah</span> (menegakkan hujjah atau argumentasi) dan hilangnya <span style="font-style: italic;">syubhat</span> (keraguan). Hal ini berlaku dalam permasalahan yang samar (tersembunyi) bukan permasalahan yang sifatnya <span style="font-style: italic;">zhahir</span> (jelas dan nyata). Kemudian Ahlussunnah juga tidak mengkafirkan seorang muslim tertentu kecuali bila benar-benar telah memenuhi persyaratan dan bebas dari segala halangan.<br /><br /><span style="font-style: italic;">“Siapa yang tetap ke-Islaman-nya secara yakin maka tidak akan hilang dengan suatu yang meragukan.”</span> Atas dasar kaidah ini, para salafush sholih berpijak. Maka merekalah yang paling berhati-hati dalam mengkafirkan orang lain. Oleh karena itu, ketika ‘Ali bin Abi Thalib ditanya tentang penduduk Nahrawan, <span style="font-style: italic;">“Apakah mereka telah kafir?”</span> Beliau menjawab, <span style="font-style: italic;">“Mereka menjauh dari kekafiran.”</span> Lalu ditanya lagi, <span style="font-style: italic;">“Apakah mereka itu termasuk orang-orang munafik?”</span> Beliau menjawab, <span style="font-style: italic;">“Kalau orang-orang munafik tidak menyebut (nama) Allah melainkan sedikit, sedang mereka senantiasa menyebut (nama) Allah pagi dan sore. Sesungguhnya mereka adalah saudara kita yang berbuat aniaya kepada kita.”</span> (Dikeluarkan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitabnya, <span style="font-weight: bold; font-style: italic;">as-Sunan al-Kubra</span>, juz VIII hal 173).<br /><br />Penting bagi kita untuk membedakan antara macam dan pribadi tertentu dalam hal pengkafiran. Mengingat tidak semua perbuatan kufur menjadikan pelakunya tertentu disebut orang kafir. Maka hendaknya seseorang dapat <span style="font-weight: bold;">membedakan antara menghukumi perkataan bahwa (perbuatan) itu kafir, dengan menghukumi seorang tertentu bahwa dia kafir</span>. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah <span style="font-style: italic;">rahimahullah</span> berkata: <span style="font-style: italic;">“Orang yang menakwilkan (menyelewengkan makna) lagi bodoh dan orang yang berhalangan hukumnya tidak seperti hukum yang berlaku pada orang yang menentang dan durhaka. Bahkan Allah telah menjadikan segala sesuatu itu sesuai dengan ketentuan-Nya.”</span> (<span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Majmu’ah Rasail wa Masail</span>, V/382).<br /><br />Beliau <span style="font-style: italic;">rahimahullah</span> juga mengatakan: <span style="font-style: italic;">“Jika hal ini telah diketahui, maka pengkafiran orang tertentu dari orang-orang yang tidak mengerti dan semisalnya, dimana dia dihukumi bahwa ia masuk orang-orang kafir, maka tidak boleh bersikap gegabah dengan menghukuminya kafir kecuali setelah sampai hujjah kepada salah satu di antara mereka dengan risalah yang dapat menjelaskan kepada mereka bahwa mereka telah menyelishi petunjuk Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam, walaupun perkataan mereka itu tidak diragukan lagi bahwa hal itu adalah termasuk kekufuran. Demikianlah pembicaraan dalam mengkafirkan orang-orang tertentu.”</span> (<span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Majmu’ah Rasail wa Masail</span>, III/348).<br /><br />-------------------<br />Disalin dengan ringkas dari kitab <span style="font-weight: bold; font-style: italic;">al-Wajiiz fii ‘Aqidatis Salafish Shaalih, Ahlis Sunnah wal Jama’ah</span>, penulis Abdullah bin Abdil Hamid al-Atsari, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul <span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Intisari Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah</span>, hal. 147-150 (<span style="font-style: italic;">termasuk catatan kaki dari editor</span>), oleh penerbit Pustaka Imam Syafi’I, cetakan pertama, Shafar 1427 H.<br /><br /></span>Wahyudi Abu Fauzanhttp://www.blogger.com/profile/03444204196705043406noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3161093143735862998.post-59680017916453478312009-01-15T22:59:00.000-08:002009-09-20T08:26:36.439-07:00Keajaiban Doa IbuOleh : Fariq Gasim Anuz<br /><br />Ketika saya sedang duduk di ruang kerja di kantor <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">Islamic Center</span> di Jeddah, Saudi Arabia di penghujung bulan Dzulhijjah 1429 H atau di akhir bulan Desember 2008 M, masuklah seorang anak remaja dengan mengenakan gamis, kopiah dan sorban merah sambil mengucapkan salam.<br /><br />Setelah saya berkenalan dengannya ternyata dia adalah keponakan salah seorang pengurus dan relawan di kantor <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">Islamic Center</span> yaitu ustadz Muhammad Ash Shubhi yang datang ke kantor tiap hari Jumat untuk memberikan ceramah kepada para mu’allaf yang berasal dari Philpina. Nama anak tersebut Muadz Ash Shubhi berumur 17 tahun dan masih duduk di kelas 2 SMA.<br /><br />Tampak dari anak tersebut wibawa dan penuh kedewasaan, saya tinggalkan pekerjaan saya dan duduk menemani Muadz untuk mengenal dia lebih jauh lagi. Ternyata dia telah selesai menghapal Al Quran 30 Juz, dan sekarang dia rajin mengulang hapalannya agar tidak lupa dan hilang. Ia terkadang mengimami shalat berjamaah di Masjid dekat rumahnya jika imam terlambat atau berhalanagan hadir. Dia juga aktif berperan sebagai mu’adzin di masjid tersebut sejak umur 14 tahun. Hanya saja terakhir ini pengurus masjid menggantikannya dengan mu’adzin dari orang dewasa dengan alasan dia masih anak-anak dan menjanjikan kepadanya jika telah selesai sekolah maka dia bisa menjadi mu’adzin lagi.<br /><br />Saya memberikan kesempatan kepadanya untuk berbicara lebih banyak, diantara hal yang menarik dari pembicaraan Muadz yaitu ketika dia bercerita tentang masa kecil Syaikh Doktor Abdul Aziz Fauzan Al-Fauzan.<br /><br /><span class="fullpost">“Ketika itu, orang tuanya memiliki banyak kambing dan anak-anaknya mendapatkan tugas untuk menggembalakan kambing secara bergantian sepulang mereka dari sekolah. Hari ini bagian Muhammad kakaknya, keesokan harinya giliran Abdul Aziz dan besoknya lagi giliran adiknya. Saat giliran adiknya bertugas untuk menggembalakan kambing maka adiknya datang kepada ibunya sambil menangis dan berkeberatan untuk menggembalakan kambing. Karena merasa kasihan kepada anaknya yang paling kecil maka si ibu menyuruh kakaknya yang paling besar yaitu Muhammad untuk menggembalakan kambing. Kakaknya menolak dengan alasan bahwa dia sudah menjalankan kewajibannya 2 hari yang lalu. Maka si ibu menyuruh Abdul Aziz untuk menggembalakan kambing, Abdul Aziz menuruti permintaan ibunya dan tidak membantahnya. Keesokan harinya giliran kakaknya yang tertua bertugas menggembalakan kambing, maka kakaknya datang kepada ibunya sambil menangis pula berkeberatan untuk mengembalakan kambing. Si ibu menyuruh Abdul Aziz lagi untuk menggembalakan kambing. Abdul Aziz menjalankan perintah ibunya tanpa membantah sedikitpun. Akhirnya setiap hari Abdul Aziz menggembalakan kambing milik orang tuanya.”<br /><br />Syaikh Abdul Aziz merasakan banyak sekali kemudahan yang Allah berikan kepadanya dan beliau berpendapat di antara sebabnya adalah bakti seorang anak dan doa kedua orang tuanya.<br /><br />Kisah yang diceritakan Muadz sangat berkesan dihati saya, cerita tersebut mengingatkan saya kepada ucapan Profesor Doktor Abdul Karim Bakkar dan Profesor Doktor Shalih Al Ayid dalam bukunya.<br /><br />Profesor Doktor Abdul Karim Bakkar berkata,<br /><br /><span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">"Sesungguhnya doa kedua orangtua untuk anak-anaknya ada dua macam, ada yang disebabkan rasa iba dan kasihan, hal ini dilakukan oleh kedua orang tua meskipun anak-anaknya kurang berbakti kepada mereka. Ada lagi doa dari orang tua diucapkan dari lubuk hati yang paling dalam, doa tersebut merupakan ungkapan rasa senang, puas, ridha dan kagum kepada perbuatan dan bakti anak mereka, doa yang seperti inilah yang lebih pantas untuk dikabulkan oleh Allah.”</span><br /><br />(<span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;"><span class="Apple-style-span" style="font-weight: bold;">50 Lilin Untuk Menerangi Jalan Hidup Kalian</span></span>)<br /><br />Profesor Doktor Shalih Al Ayid berkata,<br /><br /><span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">"Sesungguhnya doa ibu tidak mungkin meleset, ibuku -semoga Allah merahmatinya- selalu ridha terhadap anak-anaknya dan sangat mencintai mereka, oleh karena itu ia selalu berdoa memohon kebaikan untuk mereka di setiap waktu, berdoa dengan hati yang bersih tanpa ada dendam dan kebencian, oleh karena itu saya melihat dalam segala urusanku adalah hasil dari doa beliau secara nyata dan tidak ada keraguan sedikitpun, berapa banyak pintu kebaikan terbuka untukku dengan tidak disangka-sangka dan berapa banyak tipu-daya orang-orang yang hasad dan dengki menjadi runtuh karena karunia Allah disebabkan doa ibuku yang dikabulkan-Nya."</span><br /><br />(<span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;"><span class="Apple-style-span" style="font-weight: bold;">Dam'ah 'ala Qabri Ummi</span></span>)<br /><br />Sumber : Postingan <a href="http://www.mail-archive.com/assunnah@yahoogroups.com/msg24551.html">Abu Ishaq</a> di <a href="http://www.mail-archive.com/assunnah@yahoogroups.com/">Milist As-Sunnah</a> pada hari Rabu, 14 Januari 2009.<br /><br /></span>Wahyudi Abu Fauzanhttp://www.blogger.com/profile/03444204196705043406noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3161093143735862998.post-29812838668409860302009-01-13T23:48:00.000-08:002009-09-20T08:27:41.657-07:00Betapa Berbahayanya Bid’ah Meskipun Dianggap Kebaikan Oleh Banyak OrangDiriwayatkan dari ‘Aisyah <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">radhiallahu’anha</span>, bahwa Rasulullah <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">shalallahu’alaihi wasallam</span> bersabda: <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">“Barang siapa mengada-adakan dalam urusan kami ini sesuatu yang tidak termasuk darinya, maka dia tertolak.”</span>[1]<br /><br />Disebutkan dalam riwayat Muslim: <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">“Barang siapa melakukan suatu perbuatan yang tidak berpedoman kepada perintah kami, maka dia tertolak.”</span>[2]<br /><br />Jadi, mendekatkan diri kepada Allah <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">Subhaanahu wa Ta’ala</span> dengan selain dari apa yang terdapat pada al-Quran, as-Sunnah, dan cara Salafush Shalih, adalah bahaya yang sangat besar, selain ia juga merupakan tindakan lancang serta melanggar ketentuan-ketentuan Allah <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">Subhaanahu wa Ta’ala</span>. Sesungguhnya, adalah mudah bagi orang yang mencuri uang sebesar satu dirham untuk mencuri beribu-ribu dirham (setelah itu -<span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">ed</span>). Karena sesungguhnya perbuatan mencuri tersebut melanggar ketentuan-ketentuan Allah. Sama halnya dengan keadaan pelaku bid’ah, sementara bid’ah-bid’ah yang besar -<span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">bahkan terkadang syirik kepada Allah</span>- akan terasa ringan olehnya. Karena, awal keberpalingan dari Sunnah yang shahih serta ridha terhadap bid’ah, merupakan jalan untuk menerima setiap kesesatan dan penyimpangan.<br /><br />Sebagaimana kemusyrikan yang terjadi pada kaum Nabi Nuh <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">‘alaihissalam</span> yang bermula dari membuat patung orang-orang shalih setelah kematian mereka. Lalu, syaitan menghiasi tujuan dari perbuatan itu, yaitu agar mereka selalu mengingatnya dan meneladani amal-amal baik mereka. Syaitan pun membisikkan kepada orang-orang setelah mereka agar menyembah patung orang-orang shalih tersebut sebagai sesembahan selain Allah <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">Subhaanahu wa Ta’ala</span> dengan menanamkan dugaan bahwa nenek moyang mereka telah melakukan hal itu sebelumnya.<br /><br /><span class="fullpost">Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">radhiallahu’anhuma</span>, dia berkata: “Berhala-berhala yang ada pada kaum Nabi Nuh <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">‘alaihissalam</span> itulah yang kemudian dikenal di kalangan bangsa Arab setelah itu. Berhala <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">Wadd</span> untuk suku Kalb di daerah Daumatul Jandal (kota di negeri Syam yang dekat dengan Iraq -<span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">pent</span>). Berhala <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">Suwa’</span> untuk suku Hudzail (dekat dengan Makkah). Berhala <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">Yaghuuts</span> untuk suku Murad dan kemudian untuk Bani Ghuthaif di Juruf yang ada di negeri Saba’. Berhala <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">Ya’uuq</span> untuk suku Hamdan. Dan Berhala <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">Nasr</span> untuk bangsa Himyar, yaitu untuk keluarga Dzil Kala’. Mereka adalah nama-nama orang-orang shalih dari kaum Nabi Nuh <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">‘alaihissalam</span>. Tatkala mereka meninggal dunia, syaitan membisiki kaum mereka agar mereka mendirikan patung di majelis-majelis tempat mereka berkumpul dan menamakannya dengan nama-nama orang shalih tersebut. Lalu, mereka melakukannya, namun patung tersebut tidak disembah. Hingga akhirnya setelah mereka meninggal dunia dan ilmu pun telah dihapus, hingga patung-patung itu pun disembah.”[3 ]<br /><br />Demikianlah, syaitan telah mendekati mereka secara berangsur-angsur melalui <span class="Apple-style-span" style="font-weight: bold;">pintu bid’ah</span>, dengan <span class="Apple-style-span" style="font-weight: bold;">mengobarkan semangat beribadah dan keikhlasan terhadap para wali dan orang-orang shalih</span>, hingga akhirnya syaitan mampu menjerumuskan mereka pada perbuatan-perbuatan musyrik dan kufur. Akan tetapi, seandainya mereka mau merenungi perihal diri mereka dan mencegah dirinya tersebut dari melakukan hal-hal yang berasal dari bujukan hawa nafsu mereka -<span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">meskipun tanpa pengaruh ilmu atau tanpa adanya tanda dari petunjuk</span>- niscaya mereka tidak akan menghancurkan diri mereka dengan melakukan hal-hal yang mengantarkan kepada kekufuran dan menempatkannya pada perbuatan-perbuatan yang merugikan. Hal seperti ini pulalah yang terjadi pada orang-orang yang duduk di masjid dengan membuat halaqah (lingkaran -<span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">ed</span>) sambil menunggu shalat. Pada setiap halaqah terdapat seorang (pemimpin -<span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">ed</span>) dan di tangan mereka terdapat kerikil. Lalu orang itu berkata: <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">“Bertakbirlah sebanyak seratus kali.”</span> Lalu mereka membaca takbir sebanyak seratus kali. Demikian pula yang mereka lakukan dengan bacaan tahlil (<span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">Laa ilaaha illallaah</span>) dan tasbih. Karena itulah, ‘Abdullah bin Mas’ud <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">radhiallahu’anhu</span> sangat mengingkari perbuatan mereka.<br /><br />Hal ini, sebagaimana disebutkan dalam riwayat shahih, dari al-Hakam bin al-Mubarak, dari ‘Amr bin Yahya, dia berkata: “Aku pernah mendengar ayahku menyampaikan hadits dari ayahnya, dia berkata: “Suatu saat kami duduk di dekat pintu (rumah) ‘Abdullah bin Mas’ud sebelum shalat Shubuh, dan bila dia keluar maka kami pun berjalan bersamanya menuju masjid. Lalu, Abu Musa mendatangi kami dan bertanya: “Apakah Abu ‘Abdirrahman (<span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">kunyah</span> bagi Ibnu Mas’ud –<span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">red</span>) telah keluar menemui kalian?” Kami menjawab: “Belum.” Ia pun duduk bersama kami hingga Ibnu Mas’ud keluar.<br /><br />Tatkala ‘Abdullah bin Mas’ud keluar, kami semua berdiri menghampirinya, lalu Abu Musa berkata kepadanya: “Wahai Abu ‘Abdirrahman, sesungguhnya tadi aku telah melihat sesuatu yang aku ingkari di dalam masjid, dan –<span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">alhamdulillaah</span>- yang aku lihat selama ini adalah kebaikan. ‘Abdullah bertanya: “Apa itu?” Abu Musa menjawab: “Jika (nanti -<span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">ed</span>) kamu masih hidup, niscaya engkau akan melihatnya.” Abu Musa melanjutkan: “Aku melihat di dalam masjid sekelompok orang yang duduk membentuk halaqah (lingkaran) sambil menunggu shalat. Pada setiap halaqah terdapat seorang laki-laki dan di tangan mereka terdapat kerikil,” lalu orang itu berkata: “Bertakbirlah sebanyak seratus kali, mereka pun membaca takbir sebanyak seratus kali.” Lalu orang itu berkata: “Bacalah <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">La ilaaha illallaah</span> seratus kali,” maka mereka pun membaca <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">Laa ilaaha illallaah</span> sebanyak seratus kali. Orang itu juga berkata: “Bacalah tasbih sebanyak seratus kali, lalu mereka pun membaca tasbih seratus kali.”<br /><br />‘Abdullah bertanya: “Lalu apa yang engkau katakan kepada mereka?” Abu Musa menjawab: “Aku tidak mengatakan apa pun kepada mereka, karena menunggu pendapat darimu atau menunggu perintahmu.” ‘Abdullah berkata: “Mengapa engkau tidak memerintahkan mereka agar menghitung kesalahan-kesalahan mereka lalu engkau menjamin kepada mereka bahwa kebaikan-kebaikan mereka tidak akan sia-sia?”<br /><br />Kemudian, ‘Abdullah pergi dan kami pun pergi bersamanya hingga dia mendatangi salah satu halaqah tersebut. Ia pun berdiri di dekat mereka seraya bertanya: “Apa yang kalian lakukan ini?” Mereka menjawab: “Wahai Abu ‘Abdirrahman, ini adalah kerikil untuk menghitung bacaan takbir, tahliil (<span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">Laa ilaaha illallaah</span>), dan tasbih.” ‘Abdullah berkata: “Kalau begitu, hitunglah kesalahan-kesalahan kalian, dan aku menjamin tidak akan ada sedikit pun dari kebaikan-kebaikan kalian yang sia-sia. Celaka kalian, wahai ummat Muhammad, alangkah cepatnya kehancuran kalian. Para Sahabat Nabi <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">shalallahu’alaihi wasallam </span>kalian masih banyak, baju beliau <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">shalallahu’alaihi wasallam</span> belum lagi usang dan bejana-bejana beliau juga belum pecah. Demi Yang jiwaku ada di Tangan-Nya, apakah kalian berada di atas satu agama yang lebih benar dari agama Muhammad, ataukah kalian mau membuka pintu kesesatan?"<br /><br />Mereka menanggapi: “Demi Allah, wahai Abu ‘Abdirrahman, tidak ada yang kami inginkan melainkan kebaikan.” ‘Abdullah berkata: “<span class="Apple-style-span" style="font-weight: bold;">Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun mereka tidak mendapatkannya</span>. Sesungguhnya Rasulullah telah menyampaikan kepada kami, bahwa ada satu kaum yang membaca al-Qur-an, namun bacaan tersebut tidak melebihi tenggorokan mereka. Demi Allah, aku tidak tahu barangkali saja kebanyakan mereka itu berasal dari kalian.” Kemudian, ‘Abdullah pun berpaling meninggalkan mereka. ‘Amr bin Salam berkata: “Kami melihat kebanyakan orang-orang yang berasal dari halaqah-halaqah tersebut turut menyerang kami bersama kaum Khawarij pada perang Nahrawan.”[4]<br /><br />Demikianlah, tatkala kaum tersebut berdzikir mengingat Rabb mereka tanpa adanya petunjuk dan penerang dari al-Qur-an maupun as-Sunnah, maka akibat dari perbuatan itu mereka turut bersama kaum Khawarij memerangi kaum Muslimin pada perang Nahrawan. Demikianlah, mereka telah keluar dari jalan orang-orang Mukmin, dimulai dari membaca tasbih, <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">Laa Ilaaha illallaah</span>, dan takbir, dan yang mereka inginkan dari hal itu hanyalah kebaikan, -<span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">menurut anggapan mereka</span>- demikian pula, mereka hanya menginginkan kebaikan ketika memerangi kaum Muslimin pada perang Nahrawan!! Lalu, kebaikan mana lagi yang telah membuat mereka sampai menyerang kaum Muslimin dan menumpahkan darah mereka?<br /><br />Catatan kaki :<br /><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">[1] HR. Al-Bukhari (no. 2697) dan Muslim (no. 1718).<br />[2] HR. Muslim (No.1718)<br />[3] HR. Al-Bukhari (no. 4920). Al-Hafizh Ibnu Hajar </span><span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">rahimahullah</span></span><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;"> telah menyebutkan bahwa hadits ini adalah </span><span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">munqathi’</span></span><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">. Sekalipun demikian, derajat hadits ini adalah </span><span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">shahih li ghairihi</span></span><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">, karena ia memiliki jalur lain dari Ibnu ‘Abbas dan satu hadits penguat dari murid Ibnu ‘Abbas, yaitu ‘Ikrimah dalam </span><span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">Tafsiir ath-Thabari</span></span><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">. Guru kami, Syaikh al-Albani </span><span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">rahimahullah</span></span><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">, memberitahukan hal tersebut dan meletakkan keterangan ini pada </span><span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">tahqiq</span></span><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;"> kedua dari kitab </span><span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">Tahdziirus Saajid fii Ittikhaadzil Qubuur Masaajid</span></span><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">.<br />[4] HR. Ad-Darimi (I/68) dan sanadnya shahih. Semua perawinya adalah </span><span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">tsiqah</span></span><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;"> (dapat dipercaya). Lihat </span><span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">ar-Radd ‘alat Ta ’aqqubil Hatsiits</span></span><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;"> (hlm. 47), karya guru kami, Syaikh al-Albani </span><span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;"><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">rahimahullah</span></span><span class="Apple-style-span" style="font-size:small;">.</span><br /><br />Sumber : Disalin dari Kitab <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">Washiyyatu Muwaddi’</span>, karya Syaikh Husain bin ‘Audah al-‘Awayisyah, diterjemahkan oleh Penerbit Pustaka Imam Syafi’i dengan judul <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">‘Pesan-pesan Terakhir Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam’</span>, Bab IX : <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">Bahaya Bid’ah</span>, hal. 95-104.<br /><br /></span>Wahyudi Abu Fauzanhttp://www.blogger.com/profile/03444204196705043406noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3161093143735862998.post-88130602146180392802009-01-13T22:19:00.000-08:002009-09-20T08:28:55.010-07:00Wasiat Terakhir Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallamDari al-‘Irbadh bin Sariyah <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">radhiallahu’anhu</span>, dia berkata bahwa (pada suatu hari) Rasulullah <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">shaallahu’alaihi wasallam</span> memberikan nasihat kepada kami dengan nasihat yang sangat berkesan sehingga hati kami terharu dan air mata kami bercucuran. Maka kami pun menyapanya: <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">“Wahai Rasulullah, sepertinya ini pesan perpisahan. Untuk itu, berilah kami wasiat."</span> Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda: <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;"><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(102, 102, 204);">“Aku wasiatkan kepada kalian agar selalu mendengar dan taat meskipun yang memimpin kalian seorang budak hitam (Habsyi). Karena sesungguhnya, siapa yang masih hidup (sepeninggalku) niscaya akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa-ur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham. Jauhilah pula oleh kalian perkara-perkara baru (bid‘ah) karena setiap bid‘ah itu sesat."</span></span>*<br /><br />* HR. Abu Dawud, <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">Shahiih Sunan Abi Dawud</span> (no. 3851), at-Tirmidzi, <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">Shahiih Sunanit Tirmidzi</span> (no. 2157), Ibnu Majah, <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">Shahiih Sunan Ibni Majah</span> (no. 40), dan lainnya. Lihat: <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">Shahiihut Targhiib wat Tarhiib</span> (no. 34) dan <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">Kitaabus Sunnah</span> (no. 54) oleh Ibnu Abi ‘Ashim, dengan <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">tahqiq</span> guru kami, Syaikh al-Albani <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">rahimahullah</span>. Dan disebutkan dalam satu riwayat an-Nasa-i dan al-Baihaqi yang tertera pada kitab <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">al-Asmaa-u wash Shifaat</span>: <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">“Dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.”</span> Dengan sanad yang shahih, sebagaimana disebutkan dalam kitab a<span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">l-Ajwibatun Naafi’ah</span> (hlm. 545) dan <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">Ishlaahul Masaajid</span> (hlm. 11).<br /><br /><span class="fullpost">Sungguh, sebuah wasiat yang begitu berharga, bukan saja bagi para Sahabatnya, namun juga bagi seluruh ummat Nabi Muhammad <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">shalallahu’alaihi wasallam</span> sepeninggal beliau hingga akhir zaman nanti. Apabila kita cermati, wasiat ini mengandung beberapa hal penting, di antaranya:<br /><ol><li>Wasiat takwa selalu tepat disampaikan pada setiap tempat dan kesempatan sebelum wasiat-wasiat lain karena ia merupakan kunci kebaikan dunia dan akhirat.<br /></li><li>Mendengar dan taat kepada pemimpin kaum Muslimin yang sah, siapa pun dia, hukumnya wajib selama pemimpin tersebut tidak menyuruh bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.<br /></li><li>Rasulullah <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">shalallahu’alaihi wasallam</span> mengabarkan kepada ummatnya peristiwa yang akan terjadi nanti sepeninggal beliau, berupa perselisihan pendapat antar ummat Islam, dan apa yang Rasulullah beritakan itu benar-benar terjadi. Hal ini membuktikan bahwa Muhammad <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">shalallahu’alaihi wasallam</span> adalah benar-benar seorang Nabi, yang tidaklah beliau berbicara melainkan berdasarkan wahyu dari Yang Maha Mengetahui yang ghaib, yaitu Allah <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">Subhaanahu wa Ta’ala</span>.<br /></li><li>Wasiat Rasulullah <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">shalallahu’alaihi wasallam</span> yang disampaikan kepada ummatnya jauh-jauh hari sebelum wafatnya, mengenai musibah yang akan terjadi setelah beliau tidak berada lagi di tengah-tengah mereka, menunjukkan kasih sayang beliau yang begitu besar. Beliau tidak rela melihat ummatnya berpecah-belah karena perselisihan pendapat tanpa ada solusi yang tepat, benar dan aman dalam mengatasinya.<br /></li><li>Berdasarkan hadits di atas, sikap yang benar pada saat ummat Islam berselisih pendapat dan berpecah-belah adalah dengan mengembalikan masalah yang diperselisihkan kepada sunnah Rasul dan Sahabatnya, serta menjauhkan diri dari hal-hal baru yang tidak ada landasannya dalam as-Sunnah.<br /></li><li>Berdasarkan wasiat Nabi tersebut, as-Sunnah memiliki keistimewaan hukum dibandingkan dengan al-Qur-an. Pada saat ummat berselisih, as-Sunnah-lah yang seharusnya menjadi penengah dikarenakan ia mengandung hukum yang lebih terperinci daripada al-Qur-an yang masih global. Di samping itu, as-Sunnah juga berfungsi menjelaskan dan menjabarkan hukum-hukum al-Qur-an yang masih umum dan mutlak.<br /></li><li>Setiap perkara baru yang menyelisihi as-Sunnah (bid’ah) adalah kesesatan semata dan berpotensi menyesatkan siapa saja yang menganutnya.<br /></li><li>As-Sunnah tetap relevan untuk setiap zaman.<br /></li></ol>Disalin dari bagian pengantar <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">Kitab Washiyyatu Muwaddi’</span> karya Syaikh Husain bin ‘Audah al-Awayisyah, diterjemahkan oleh Penerbit Pustaka Imam Syafi’i dengan judul <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">‘Pesan-pesan Terakhir Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam’</span>.<br /><br /></span>Wahyudi Abu Fauzanhttp://www.blogger.com/profile/03444204196705043406noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3161093143735862998.post-66615460328832700232009-01-07T22:26:00.000-08:002009-09-20T08:29:35.713-07:00Kisah Keteguhan Imam Ahmad rahimahullah Dalam Menghadapi FitnahImam al-Aajurri <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">rahimahullah</span> berkata, Dikisahkan kepadaku dari al-Muhtadi <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">rahimahullah</span> bahwasanya ia berkata, "Tidak ada yang dapat menghentikan aksi ayahku (yakni al-Watsiq) kecuali seorang Syaikh (yakni Imam Ahmad) yang dibawa dari al-Mashishah. Ia dijebloskan ke dalam penjara selama beberapa waktu. Kemudian pada suatu hari ayahku teringat kepadanya. Ayahku berkata, <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">"Bawalah Syaikh itu kepadaku!"</span> Lalu iapun dibawa dalam keadaan terbelenggu.<br /><br />Ketika Syaikh itu tiba iapun mengucapkan salam kepada ayahku. Namun ayahku tidak membalas salamnya. Syaikh itu berkata, <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">"Wahai Amirul Mukminin, engkau tidak memperlakukanku dengan adab yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah berfirman, <span class="Apple-style-span" style="color: rgb(102, 102, 204);">“Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormata, maka balaslah penghormatan itu dengan lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa)”</span>. </span><span class="Apple-style-span" style="font-weight: bold;">(QS. 4: 86)</span><span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">. dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga memerintahkan kita membalas salam!"</span><br /><span class="fullpost"><br />Ayahku pun membalas salamnya, <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">"Wa 'alaikas salam!"</span> balasnya, kemudian berkata kepada Ibnu Abi Duwad, <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">"Tanyakanlah kepadanya!"</span> Syaikh itu berkata, <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">"Wahai amirul mukminin, saya dalam keadaan terikat seperti ini, saya mengerjakan shalat dalam sel tahanan dengan bertayammum, saya tidak diberi air. Lepaskanlah dahulu ikatan saya ini dan berilah saya air agar saya dapat bersuci dan mengerjakan shalat, setelah itu tanyalah yang ingin ditanyakan kepadaku."</span><br /><br />Lalu ayahku memerintahkan para pengawal agar mereka melepaskan ikatannya dan memberinya air. Syaikh itupun berwudhu lalu mengerjakan shalat. Kemudian ayahku berkata kepada Ibnu Abi Duwad, <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">"Tanyakanlah kepadanya!",</span> <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">"Sayalah yang semestinya bertanya kepadanya, suruh ia menjawab pertanyaanku!"</span> potong Syaikh tersebut. <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">"Silahkan!"</span> Sahut ayahku.<br /><br />Maka Syaikh itupun mendatangi Ibnu Abi Duwad dan bertanya kepadanya, <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">"Kabarkan kepadaku tentang perkara yang engkau propagandakan kepada manusia (yaitu perkara kemakhlukan al-Qur'an -red), apakah termasuk perkara yang didakwahkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam?"</span><br /><span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">"Tidak!"</span> jawab Ibnu Abi Duwad.<br /><span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">"Apakah termasuk perkara yang didakwahkan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu 'anhu?"</span> lanjut Syaikh tersebut.<br /><span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">"Tidak!"</span> jawabnya.<br /><span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">"Apakah termasuk perkara yang didakwahkan oleh Umar bin al-Khaththab radhiallahu 'anhu?"</span> tanyanya lagi.<br /><span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">"Tidak!"</span> jawabnya.<br /><span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">"Apakah termasuk perkara yang didakwahkan oleh Utsman bin Affan radhiallahu 'anhu?"</span> tanyanya lagi.<br /><span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">"Tidak!"</span> jawabnya.<br /><span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">"Apakah termasuk perkara yang didakwahkan oleh Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu?"</span> lanjut Syaikh itu.<br /><span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">"Tidak!"</span> tegaaas Ibnu Abdi Duwad.<br /><br />Syaikh itu berkata, <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">“Suatu perkara yang tidak didakwahkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak pula Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radhiallahu 'anhum lalu Anda mendakwahkannya kepada umat manusia? Tidak bisa tidak anda harus berkata, 'Mereka (Rasulullah dan para sahabat -ed) mengetahuinya atau mereka tidak mengetauinya' Jika anda katakan, 'Mereka mengetahuinya! namun mereka tidak menyuarakannya.' Maka cukuplah bagi kita semua apa yang cukup bagi mereka, yaitu tidak menyuarakannya! "Jika anda katakan, 'Mereka tidak mengetahuinya! tetapi sayalah yang mengetahuinya!' Sungguh celaka anda ini! Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Khulafaaur Rasyidin radhiyallahu 'anhum tidak mengetahuinya, sementara Anda dan rekan-rekan anda mengetahuinya!"</span><br /><br />Al-Muhtadi berkata, <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">"Saya lihat ayahku langsung berdiri dan masuk ke dalam haira, ia tertawa sambil menutup wajahnya dengan bajunya dan berkata, "Benar juga, tidak bisa tidak kita harus mengatakan, 'Mereka mengetahuinya' atau 'Mereka tidak mengetahuinya' Jika kita katakan, 'Mereka mengetahuinya! namun mereka tidak menyuarakannya.' Maka cukuplah bagi kita semua apa yang cukup bagi mereka, yaitu tidak menyuarakannya! "Jika anda katakan, 'Mereka tidak mengetahuinya! tetapi andalah yang mengetahuinya!' Sungguh celaka kita ini! Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Khulafaaur Rasyidin radhiyallahu 'anhum tidak mengetahuinya, sementara Anda dan rekan-rekan anda mengetahuinya!"</span><br /><br />Kemudian ayahku berkata, <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">"Hai Ahmad!",</span> <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">"Labbaika"</span> jawabnya. <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">"Bukan kamu yang saya maksud, tapi Ahmad bin Abi Duwad!" </span>sahut ayahku. Maka Ibnu Abi Duwad pun segera mendatanginya. Ayahku berkata, <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">"Berilah Syaikh ini nafkah dan keluarkanlah ia dari negeri kita!"</span><br /><br />Dalam sebuah riwayat yang dibawakan oleh Imam Adz-Dzahabi dalam <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">As-Siyar</span> disebutkan, <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">"...Maka jatuhlah pamor Ibnu Abi Duwad dalam pandangan ayahku, dan beliau tidak pernah lagi menguji orang dengan keyakinan sesat tersebut (keyakinan Al-Qur'an sebagai makhluk)!"</span><br /><br />Dalam riwayat lain disebutkan, <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">"Al-Muhtadi berkata, 'Sayapun insyaf dari keyakinan tersebut dan saya kira semenjak saat itu ayah sayapun insyaf darinya."</span><br /><br />----------<br />Telah diriwayatkan dengan sanad yang tersambung oleh al-Ajurri dalam kitab <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">Asy-Syari'ah </span>hal. 91, dari beliau pula Ibnu Baththah meriwayatkannya dalam <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">Al-Ibanah/Ar-Radd 'Alal Jahmiyah</span> (452).<br />Diriwayatkan pula dari jalur yang lain oleh Ibnu Baththah dalam kitab tersebut (453), al-Khathib al-Baghdadi dalam <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">Tarikh Baghdad</span> (IV/151-152), (X/75-79), Ibnul Jauzi dalam <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">Manaqib Imam Ahmad</span> (hal 431-432), Abdul Ghani al-Maqdisi dalam kitab <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">Al-Mihnah</span> (hal 169-174) dan Ibnu Qudamah dalam kitab <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">At-Tawwabin</span> (hal 210-215).<br /></span>Wahyudi Abu Fauzanhttp://www.blogger.com/profile/03444204196705043406noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3161093143735862998.post-54365353617105471352008-12-14T17:00:00.000-08:002009-09-20T08:30:51.124-07:00Nasehat Indah dari Fadhilatus Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah<div>Disukai (<span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">mustahab</span>) bagi kita untuk berbaik sangka kepada kaum muslimin lainnya. Jika terdapat kalimat atau kata dari seseorang yang <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">muhtamal</span> (sigatnya umum dan samar) yang bisa bermakna baik (benar) atau jelek (salah). Maka bawalah ucapan tadi ke makna yang baik jika engkau dapati kemungkinan tersebut. Dan apabila terdapat perbuatan seseorang yang <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">muhtamal</span> (banyak kemungkinan seperti tadi) maka bawalah ke makna yang baik selama engkau dapati adanya kemungkinan tersebut. Karena yang demikian tersebut akan menghilangkan rasa benci serta permusuhan di dalam hati anda. Oleh karenanya Allah <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">‘azza wajalla</span> tidak membebani anda untuk mencari-cari serta menyelidiki (kesalahan), maka ucapkan <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">alhamdulillah</span> untuk keselamatan dan berbaik sangka-lah terhadap saudara-saudara anda dari kejahatan syaithon yang terkutuk.</div><div><br /><br /></div><div>Inilah yang selayaknya bagi seorang muslim apalagi dalam keadaan banyak fitnah-<span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">waliyadzubillah</span>-bukannya mencari-cari aib manusia, dan apabila mendapati sesuatu yang maknanya ada kemungkinan dimana bisa dibawa ke yang baik atau jelek dari sisi lain meskipun jauh, malah senang/gembira kemudian menyebarkan kesalahannya. Ketahuilah bahwa orang yang gemar mencari-cari aib saudaranya, maka Allah akan balikkan keadaannya kemudian Allah tampakkan aibnya meskipun dia di balik kamar rumahnya.</div><div><br /></div><div><span class="Apple-style-span" style="font-weight: bold;">Faidah :</span></div><div>Coba sandingkan ucapan beliau ini dengan kenyataan yang sering kita jumpai. Ketika menemukan satu-dua kalimat di buku atau ceramah seseorang. Maka dengan mudah terlontar tuduhan yang bukan-bukan. <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">Allahul musta’an</span>.</div><div><br /></div><div><div>Sumber : <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">Syarhul Mumti’</span> <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">‘ala Zaadil Mustaqni’</span> Jilid 5 Bab <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">Sholat Jenazah</span> Hal 380.</div><div><br /></div><div>Dari <a href="http://salafyitb.wordpress.com/">Abu Umair as-Sundawy</a></div><div><br /></div></div>Wahyudi Abu Fauzanhttp://www.blogger.com/profile/03444204196705043406noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3161093143735862998.post-61999602693408703782008-12-10T16:40:00.000-08:002009-09-20T08:31:29.417-07:00Assalamu'alaikum, Postingan PertamakuPostingan ini adalah postingan pertama yang saya buat di blogspot. Saya memberi judul blog pribadi ini dengan nama '<span class="Apple-style-span" style="font-weight: bold;"><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(153, 51, 153);">CAHAYA HATI</span></span>' dengan harapan dapat mencahayakan hati pembaca melalui tulisan-tulisan yang menggugah kesadaran, kisah-kisah penuh hikmah dan untaian nasehat yang jernih yang berasal dari para Ulama Rabbani.<br /><div><br /></div><div>Semoga amal ini bernilai kebaikan di sisi Allah<span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;"> Subhaanahu wa Ta'ala</span>. Dan dijadikan-Nya <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">ikhlash</span> hanya mengharapkan <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">ridha</span>-Nya semata.</div><div><br /></div><div>Dari seseorang yang sangat berhajat akan ampunan dan kasih-sayang <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">Rabb</span>-nya.</div>Wahyudi Abu Fauzanhttp://www.blogger.com/profile/03444204196705043406noreply@blogger.com0