Selasa, 13 Januari 2009

Betapa Berbahayanya Bid’ah Meskipun Dianggap Kebaikan Oleh Banyak Orang

Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu’anha, bahwa Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa mengada-adakan dalam urusan kami ini sesuatu yang tidak termasuk darinya, maka dia tertolak.”[1]

Disebutkan dalam riwayat Muslim: “Barang siapa melakukan suatu perbuatan yang tidak berpedoman kepada perintah kami, maka dia tertolak.”[2]

Jadi, mendekatkan diri kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala dengan selain dari apa yang terdapat pada al-Quran, as-Sunnah, dan cara Salafush Shalih, adalah bahaya yang sangat besar, selain ia juga merupakan tindakan lancang serta melanggar ketentuan-ketentuan Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya, adalah mudah bagi orang yang mencuri uang sebesar satu dirham untuk mencuri beribu-ribu dirham (setelah itu -ed). Karena sesungguhnya perbuatan mencuri tersebut melanggar ketentuan-ketentuan Allah. Sama halnya dengan keadaan pelaku bid’ah, sementara bid’ah-bid’ah yang besar -bahkan terkadang syirik kepada Allah- akan terasa ringan olehnya. Karena, awal keberpalingan dari Sunnah yang shahih serta ridha terhadap bid’ah, merupakan jalan untuk menerima setiap kesesatan dan penyimpangan.

Sebagaimana kemusyrikan yang terjadi pada kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam yang bermula dari membuat patung orang-orang shalih setelah kematian mereka. Lalu, syaitan menghiasi tujuan dari perbuatan itu, yaitu agar mereka selalu mengingatnya dan meneladani amal-amal baik mereka. Syaitan pun membisikkan kepada orang-orang setelah mereka agar menyembah patung orang-orang shalih tersebut sebagai sesembahan selain Allah Subhaanahu wa Ta’ala dengan menanamkan dugaan bahwa nenek moyang mereka telah melakukan hal itu sebelumnya.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma, dia berkata: “Berhala-berhala yang ada pada kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam itulah yang kemudian dikenal di kalangan bangsa Arab setelah itu. Berhala Wadd untuk suku Kalb di daerah Daumatul Jandal (kota di negeri Syam yang dekat dengan Iraq -pent). Berhala Suwa’ untuk suku Hudzail (dekat dengan Makkah). Berhala Yaghuuts untuk suku Murad dan kemudian untuk Bani Ghuthaif di Juruf yang ada di negeri Saba’. Berhala Ya’uuq untuk suku Hamdan. Dan Berhala Nasr untuk bangsa Himyar, yaitu untuk keluarga Dzil Kala’. Mereka adalah nama-nama orang-orang shalih dari kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam. Tatkala mereka meninggal dunia, syaitan membisiki kaum mereka agar mereka mendirikan patung di majelis-majelis tempat mereka berkumpul dan menamakannya dengan nama-nama orang shalih tersebut. Lalu, mereka melakukannya, namun patung tersebut tidak disembah. Hingga akhirnya setelah mereka meninggal dunia dan ilmu pun telah dihapus, hingga patung-patung itu pun disembah.”[3 ]

Demikianlah, syaitan telah mendekati mereka secara berangsur-angsur melalui pintu bid’ah, dengan mengobarkan semangat beribadah dan keikhlasan terhadap para wali dan orang-orang shalih, hingga akhirnya syaitan mampu menjerumuskan mereka pada perbuatan-perbuatan musyrik dan kufur. Akan tetapi, seandainya mereka mau merenungi perihal diri mereka dan mencegah dirinya tersebut dari melakukan hal-hal yang berasal dari bujukan hawa nafsu mereka -meskipun tanpa pengaruh ilmu atau tanpa adanya tanda dari petunjuk- niscaya mereka tidak akan menghancurkan diri mereka dengan melakukan hal-hal yang mengantarkan kepada kekufuran dan menempatkannya pada perbuatan-perbuatan yang merugikan. Hal seperti ini pulalah yang terjadi pada orang-orang yang duduk di masjid dengan membuat halaqah (lingkaran -ed) sambil menunggu shalat. Pada setiap halaqah terdapat seorang (pemimpin -ed) dan di tangan mereka terdapat kerikil. Lalu orang itu berkata: “Bertakbirlah sebanyak seratus kali.” Lalu mereka membaca takbir sebanyak seratus kali. Demikian pula yang mereka lakukan dengan bacaan tahlil (Laa ilaaha illallaah) dan tasbih. Karena itulah, ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu sangat mengingkari perbuatan mereka.

Hal ini, sebagaimana disebutkan dalam riwayat shahih, dari al-Hakam bin al-Mubarak, dari ‘Amr bin Yahya, dia berkata: “Aku pernah mendengar ayahku menyampaikan hadits dari ayahnya, dia berkata: “Suatu saat kami duduk di dekat pintu (rumah) ‘Abdullah bin Mas’ud sebelum shalat Shubuh, dan bila dia keluar maka kami pun berjalan bersamanya menuju masjid. Lalu, Abu Musa mendatangi kami dan bertanya: “Apakah Abu ‘Abdirrahman (kunyah bagi Ibnu Mas’ud –red) telah keluar menemui kalian?” Kami menjawab: “Belum.” Ia pun duduk bersama kami hingga Ibnu Mas’ud keluar.

Tatkala ‘Abdullah bin Mas’ud keluar, kami semua berdiri menghampirinya, lalu Abu Musa berkata kepadanya: “Wahai Abu ‘Abdirrahman, sesungguhnya tadi aku telah melihat sesuatu yang aku ingkari di dalam masjid, dan –alhamdulillaah- yang aku lihat selama ini adalah kebaikan. ‘Abdullah bertanya: “Apa itu?” Abu Musa menjawab: “Jika (nanti -ed) kamu masih hidup, niscaya engkau akan melihatnya.” Abu Musa melanjutkan: “Aku melihat di dalam masjid sekelompok orang yang duduk membentuk halaqah (lingkaran) sambil menunggu shalat. Pada setiap halaqah terdapat seorang laki-laki dan di tangan mereka terdapat kerikil,” lalu orang itu berkata: “Bertakbirlah sebanyak seratus kali, mereka pun membaca takbir sebanyak seratus kali.” Lalu orang itu berkata: “Bacalah La ilaaha illallaah seratus kali,” maka mereka pun membaca Laa ilaaha illallaah sebanyak seratus kali. Orang itu juga berkata: “Bacalah tasbih sebanyak seratus kali, lalu mereka pun membaca tasbih seratus kali.”

‘Abdullah bertanya: “Lalu apa yang engkau katakan kepada mereka?” Abu Musa menjawab: “Aku tidak mengatakan apa pun kepada mereka, karena menunggu pendapat darimu atau menunggu perintahmu.” ‘Abdullah berkata: “Mengapa engkau tidak memerintahkan mereka agar menghitung kesalahan-kesalahan mereka lalu engkau menjamin kepada mereka bahwa kebaikan-kebaikan mereka tidak akan sia-sia?”

Kemudian, ‘Abdullah pergi dan kami pun pergi bersamanya hingga dia mendatangi salah satu halaqah tersebut. Ia pun berdiri di dekat mereka seraya bertanya: “Apa yang kalian lakukan ini?” Mereka menjawab: “Wahai Abu ‘Abdirrahman, ini adalah kerikil untuk menghitung bacaan takbir, tahliil (Laa ilaaha illallaah), dan tasbih.” ‘Abdullah berkata: “Kalau begitu, hitunglah kesalahan-kesalahan kalian, dan aku menjamin tidak akan ada sedikit pun dari kebaikan-kebaikan kalian yang sia-sia. Celaka kalian, wahai ummat Muhammad, alangkah cepatnya kehancuran kalian. Para Sahabat Nabi shalallahu’alaihi wasallam kalian masih banyak, baju beliau shalallahu’alaihi wasallam belum lagi usang dan bejana-bejana beliau juga belum pecah. Demi Yang jiwaku ada di Tangan-Nya, apakah kalian berada di atas satu agama yang lebih benar dari agama Muhammad, ataukah kalian mau membuka pintu kesesatan?"

Mereka menanggapi: “Demi Allah, wahai Abu ‘Abdirrahman, tidak ada yang kami inginkan melainkan kebaikan.” ‘Abdullah berkata: “Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun mereka tidak mendapatkannya. Sesungguhnya Rasulullah telah menyampaikan kepada kami, bahwa ada satu kaum yang membaca al-Qur-an, namun bacaan tersebut tidak melebihi tenggorokan mereka. Demi Allah, aku tidak tahu barangkali saja kebanyakan mereka itu berasal dari kalian.” Kemudian, ‘Abdullah pun berpaling meninggalkan mereka. ‘Amr bin Salam berkata: “Kami melihat kebanyakan orang-orang yang berasal dari halaqah-halaqah tersebut turut menyerang kami bersama kaum Khawarij pada perang Nahrawan.”[4]

Demikianlah, tatkala kaum tersebut berdzikir mengingat Rabb mereka tanpa adanya petunjuk dan penerang dari al-Qur-an maupun as-Sunnah, maka akibat dari perbuatan itu mereka turut bersama kaum Khawarij memerangi kaum Muslimin pada perang Nahrawan. Demikianlah, mereka telah keluar dari jalan orang-orang Mukmin, dimulai dari membaca tasbih, Laa Ilaaha illallaah, dan takbir, dan yang mereka inginkan dari hal itu hanyalah kebaikan, -menurut anggapan mereka- demikian pula, mereka hanya menginginkan kebaikan ketika memerangi kaum Muslimin pada perang Nahrawan!! Lalu, kebaikan mana lagi yang telah membuat mereka sampai menyerang kaum Muslimin dan menumpahkan darah mereka?

Catatan kaki :
[1] HR. Al-Bukhari (no. 2697) dan Muslim (no. 1718).
[2] HR. Muslim (No.1718)
[3] HR. Al-Bukhari (no. 4920). Al-Hafizh Ibnu Hajar
rahimahullah telah menyebutkan bahwa hadits ini adalah munqathi’. Sekalipun demikian, derajat hadits ini adalah shahih li ghairihi, karena ia memiliki jalur lain dari Ibnu ‘Abbas dan satu hadits penguat dari murid Ibnu ‘Abbas, yaitu ‘Ikrimah dalam Tafsiir ath-Thabari. Guru kami, Syaikh al-Albani rahimahullah, memberitahukan hal tersebut dan meletakkan keterangan ini pada tahqiq kedua dari kitab Tahdziirus Saajid fii Ittikhaadzil Qubuur Masaajid.
[4] HR. Ad-Darimi (I/68) dan sanadnya shahih. Semua perawinya adalah
tsiqah (dapat dipercaya). Lihat ar-Radd ‘alat Ta ’aqqubil Hatsiits (hlm. 47), karya guru kami, Syaikh al-Albani rahimahullah.

Sumber : Disalin dari Kitab Washiyyatu Muwaddi’, karya Syaikh Husain bin ‘Audah al-‘Awayisyah, diterjemahkan oleh Penerbit Pustaka Imam Syafi’i dengan judul ‘Pesan-pesan Terakhir Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam’, Bab IX : Bahaya Bid’ah, hal. 95-104.

1 komentar:

  1. Assalamualaikum Lam Kenal Kunjungi www.markazsunnah.co.cc,www.desasalafy.co.cc,www.desasalaf.co.cc moga bermanfaat

    BalasHapus