Sabtu, 19 September 2009

Ulama Salaf Dalam Kebencian Mereka Terhadap Popularitas

Dari Habib bin Abu Tsabit diriwayatkan bahwa ia berkata: “Suatu hari Ibnu Mas’ud keluar rumah. Tiba-tiba orang-orang mengikutinya. Beliau kemudian bertanya: “Apakah kalian membutuhkan sesuatu?” Mereka menjawab: “Tidak, kami hanya ingin berjalan bersamamu.” Beliau berkata: “Pulanglah, yang demikian itu adalah kehinaan bagi yang mengikuti dan malapetaka bagi yang diikuti.” (Shifatush Shofwah, I:406).

Al-Hasan pernah berkata: “Suatu hari aku pernah bersama Ibnul Mubarak. Kami mendatangi siqayah (tempat mengambil air minum) yang didatangi banyak orang untuk diambil airnya sebagai air minum. Lalu beliau mendekati perigi itu dan meminum airnya. Orang-orang tidka mengetahui bahwa beliau adalah Ibnul Mubarak. Maka merekapun berdesak-desakan sampai mendorong beliau. Ketika beliau keluar dari kerumunan, beliau berkata kepadaku: “Hanya beginilah kehidupan itu.” Yakni pada saat kita tidak dikenal dan tidak dihormati.”


Perawi meneruskan: “Ketika kami sedang berada di Kufah, beliau membacakan bab Manasik, sehingga beliau sampai pada suatu hadits, yang di dalamnya tercantum: “Demikian pendapat Abdullah dan demikian pulalah pendapat kami.” Lalu beliau bertanya: “Siapa yang menulis bahwa ini adalah pendapat saya?” Aku menjawab: “Tentu orang bertugas menulisnya.” Beliau lalu terus saja menghapus tulisan itu dengan tangannya hingga hilang. “Siapa saya, sehingga pantas ditulis pendapat saya.” (Shifatush Shofwah, IV: 135)

Dari Muhammad bin al-Munkadir diriwayatkan bahwa ia berkata: “Ada sebuah tiang di masjid Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam yang biasa kugunakan untuk sholat dan belajar di malam hari. Pada waktu itu penduduk Madinah mengalami paceklik. Maka merekapun keluar menjalankan sholat Istisqa’. Namun hujan tidak juga turun. Pada malam harinya, seperti biasa aku sholat Isya’ di masjid Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam lalu aku mendatangi tiang itu dan menyandarkan tubuhku di sana (istirahat). Tiba-tiba datang seorang lelaki berkulit hitam kecoklat-coklatan, mengenakan kain sarung dan pada lehernya tergantung kain yang lebih kecil lagi. Lelaki itu kemudian mendekati tiang yang di depanku, sementara (tanpa dia ketahui) aku berada di belakangnya. Kemudian dia sholat dua raka’at dan berdoa: “Wahai Rabb-ku, para penduduk kota Nabi-Mu telah keluar meminta hujan, namun Engkau tidak juga mencurahkan hujan. Kini aku bersumpah atas Nama-Mu, turunkanlah hujan.”

Ibnul Munkadir bergumam: “Jangan-jangan ini orang gila.” Ia meneruskan: “Tatkala lelaki itu meletakkan tangannya, tiba-tiba aku mendengar suara guntur, diikuti dengan hujan yang turun dari langit yang menyebabkan diriku berkeinginan kembali ke rumah. Ketika ia mendengar suara hujan, ia segera memuji Allah dengan berbagai pujian yang belum pernah kudengar yang semacam itu sebelumnya.” Perawi melanjutkan: “Kemudian lelaki itu berkata: “Siapa saya, dan apa kedudukan saya, sehingga doa saya terkabul. Akan tetapi aku tetap berlindung dengan memuji Diri-Mu dan berlindung dengan Pertolongan-Mu.” Lalu perawi melanjutkan: “Kemudian lelaki itu menggunakan kain yang digunakan untuk menyelimuti tubuhnya, lalu kain yang bergantung di punggungnya ia turunkan ke kakinya. Setelah itu ia sholat. Ia terus menjalankan sholatnya, sampai ia merasa akan datang Shubuh. Setelah itu ia melakukan sholat Witir dan sholat sunnah Fajar dua raka’at. Kemudian dikumandangkan iqomat Shubuh, ia turut sholat berjama’ah bersama orang banyak. Akupun turut sholat bersamanya. Setelah imam mengucapkan salam, ia segera bangkit dan keluar masjid. Akupun mengikutinya dari belakang hingga pintu masjid. Lalu dia mengangkat pakaiannya dan berjalan di air yang tergenang (karena hujan). Akupun ikut mengangkat pakaianku dan berjalan di genangan air. Namun kemudian aku kehilangan jejak.

Pada malam selanjutnya, aku kembali sholat Isya’ di masjid Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam, lalu aku mendatangi tiang tersebut dan berbaring di sana. Tiba-tiba lelaki itu datang lagi dan berdiri di tempat biasa. Ia menyelimuti tubuhnya dengan kain, sementara kain lainnya yang berada di punggungnya ia selempangkan di kedua kakinya, kemudian melakukan sholat, sampai ia khawatir kalau datang waktu Shubuh, baru ia melakukan sholat Witir dan dua raka’at sunnah Fajar. Setelah itu iqomat berkumandang. Ia langsung sholat berjama’ah, akupun turut sholat bersamanya. Ketika imam telah mengucapkan salam, ia keluar. Aku juga keluar megikutinya. Ia berjalan dengan cepat. Akupun mengikutinya hingga sampai ke salah satu rumah di kota Madinah yang kukenal. Akupun kembali ke masjid.

Setelah terbit matahari, dan aku telah menunaikan sholat Dhuha. Aku segera keluar mendatangi rumah tersebut. Kudapati dirinya sedang duduk menjahit. Ternyata ia tukang sepatu. Ketika ia melihatku, ia segera mengenaliku. Ia berkata: “Wahai Abu Abdillah, selamat datang. Ada yang bisa kubantu? Anda ingin saya buatkan sepatu?” Aku segera duduk dan berkata: “Bukankah engkau yang menjadi temanku di malam yang pertama itu?” Rona wajahnya berubah menghitam dan berteriak sambil berkata: “Wahai Ibnul Munkadir, apa rurusanmu dengan kejadian itu?” Perawi melanjutkan: “Lelaki itu marah dan aku segera meninggalkannya.” Aku mengatakan: “Sekarang juga aku keluar dari tempat ini.”

Pada malam ketiga, aku kembali sholat Isya’ di akhir waktu di masjid Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam, kemudian menuju tempatku untuk berbaring. Namun lelaki itu tak kunjung datang. Ibnul Munkadir bergumam: “Inna lillahi, apa yang telah aku perbuat?”

Pagi harinya, aku duduk-duduk di masjid hingga matahari terbit. Kemudian aku keluar untuk mendatangi rumah yang ditempati lelaki tersebut. Ternyata kudapati pintunya terbuka, dan ternyata rumah itupun sudah tidak berpenghuni lagi. Pemilik rumah yang ditinggali lelaki itu bertanya kepadaku: “Wahai Abu Abdillah, apa yang terjadi antara anda dengan dirinya kemarin?” Aku balik bertanya: “Apakah gerangan yang terjadi dengannya?” Orang-orang di situ berkata: “Ketika anda keluar dari rumahnya kemarin, lelaki itu segera membentangkan kainnya di tengah ruangan rumahnya. Kemudian ia tidak menyisakan selembar kulit ataupun sepatu. Semuanya dia letakkan di dalam kainnya, lalu diangkut. Setelah itu kami tidak tahu kemana lagi dia pergi.”

Muhammad bin al-Munkadir berkata: “Setiap rumah yang ada di kota Madinah yang kuketahui pasti kusinggahi untuk mencarinya. Namun aku tidak menemukannya lagi. Semoga Allah merahmatinya.” (Shifatush Shofwah, II: 190-192)

-------------------------
Disalin dengan ringkas dari kitab ‘Ainu Nahnu min Akhlaqis-salaf, penulis Abdul Aziz bin Nashir al-Jalil, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Sudah Salafikah Akhlaq Anda?, hal. 52-59, oleh penerbit Pustaka at-Tibyan, Solo, cetakan kedua, April 2003 M.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar