Jumat, 18 September 2009

Kaidah Ahlussunnah wal Jama’ah Dalam Perkara Takfir

Ahlussunnah wal Jama’ah tidak mengkafirkan seorang muslim karena suatu dosa, yang tidak ada suatu dalilpun dari al-Qur-an dan as-Sunnah bahwa hal tersebut termasuk perbuatan kufur. Jika seorang hamba meninggal dunia dalam keadaan seperti ini –yakni selama tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa yang berbuat suatu dosa, dia kafir-, maka perkaranya kembali kepada Allah Ta’ala, jika Allah berkehendak pasti dia disiksa, dan jika Dia berkehendak lain pasti diampuni. Lain halnya dengan firqah-firqah sesat dimana mereka menghukumi kafir bagi orang yang berbuat dosa besar atau dengan sebutan manzilah baina manzilatain (dengan maksud ‘dia bukan muslim dan juga bukan kafir’).

Sungguh Nabi shalallahu’alaihi wasallam telah memperingatkan akan hal itu dalam sabdanya: “Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya: ‘Wahai kafir!’ maka pasti ungkapan tersebut kembali kepada salah satu di antara dua orang itu, jika benar-benar seperti yang dia ucapkan, dan kalau tidak maka ungkapan tadi akan kembali kepada orang yang mengatakan sendiri.” (HR. Muslim, no. 60 dan Ahmad (II/44) dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhu)


Dan sabdanya pula: “Barangsiapa memanggil seseorang dengan kekafiran atau dengan ucapan: ‘Wahai musuh Allah!’, sedangkan faktanya tidak demikian melainkan akan kembali kepadanya.” (HR. al-Bukhari dalam ‘Adabul Mufrad, no. 433 dan Muslim, no. 61 dari sahabat Abu Dzarr al-Ghifari).

Beliau juga bersabda: “Tiada seseorang melempar (ucapan kepada) orang lain dengan kefasikan maupun kekufuran, melainkan ucapan tersebut pasti kembali kepadanya, jika temannya (yang dicela) itu tidak ada sifat yang demikian.” (HR. al-Bukhari, no. 6045 dalam kitab Shahih-nya dan Ahmad (V/181) dari sahabat Abu Dzarr al-Ghifari).

Beliau bersabda: “Barangsiapa menuduh seorang mukmin dengan kekafiran, maka ia seperti membunuhnya.” (HR. al-Bukhari, no. 6105 dari Tsabit bin adh-Dhahhak).

Beliau bersabda pula: “Jika seseorang mengatakan kepada saudaranya: ‘Wahai orang kafir!’ maka pasti ungkapan tersebut kembali kepada salah satu di antara kedua orang itu.” (HR. al-Bukhari, no. 6103 dari Abu Hurairah).

Ahlussunnah wal Jama’ah membedakan antara hukum secara mutlak terhadap ahli bid’ah yang disebabkan kemaksiatan atau kekafiran dengan hukum secara khusus terhadap seorang muslim yang diyakini ke-Islaman-nya, yang timbul darinya suatu perbuatan bid’ah, bahwa dia adalah orang yang bermaksiat, fasik atau kafir. Maka, Ahlussunnah tidak menghukumi orang tersebut sampai dijelaskan kebenaran kepadanya, yaitu dengan cara iqomatul hujjah (menegakkan hujjah atau argumentasi) dan hilangnya syubhat (keraguan). Hal ini berlaku dalam permasalahan yang samar (tersembunyi) bukan permasalahan yang sifatnya zhahir (jelas dan nyata). Kemudian Ahlussunnah juga tidak mengkafirkan seorang muslim tertentu kecuali bila benar-benar telah memenuhi persyaratan dan bebas dari segala halangan.

“Siapa yang tetap ke-Islaman-nya secara yakin maka tidak akan hilang dengan suatu yang meragukan.” Atas dasar kaidah ini, para salafush sholih berpijak. Maka merekalah yang paling berhati-hati dalam mengkafirkan orang lain. Oleh karena itu, ketika ‘Ali bin Abi Thalib ditanya tentang penduduk Nahrawan, “Apakah mereka telah kafir?” Beliau menjawab, “Mereka menjauh dari kekafiran.” Lalu ditanya lagi, “Apakah mereka itu termasuk orang-orang munafik?” Beliau menjawab, “Kalau orang-orang munafik tidak menyebut (nama) Allah melainkan sedikit, sedang mereka senantiasa menyebut (nama) Allah pagi dan sore. Sesungguhnya mereka adalah saudara kita yang berbuat aniaya kepada kita.” (Dikeluarkan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitabnya, as-Sunan al-Kubra, juz VIII hal 173).

Penting bagi kita untuk membedakan antara macam dan pribadi tertentu dalam hal pengkafiran. Mengingat tidak semua perbuatan kufur menjadikan pelakunya tertentu disebut orang kafir. Maka hendaknya seseorang dapat membedakan antara menghukumi perkataan bahwa (perbuatan) itu kafir, dengan menghukumi seorang tertentu bahwa dia kafir. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Orang yang menakwilkan (menyelewengkan makna) lagi bodoh dan orang yang berhalangan hukumnya tidak seperti hukum yang berlaku pada orang yang menentang dan durhaka. Bahkan Allah telah menjadikan segala sesuatu itu sesuai dengan ketentuan-Nya.” (Majmu’ah Rasail wa Masail, V/382).

Beliau rahimahullah juga mengatakan: “Jika hal ini telah diketahui, maka pengkafiran orang tertentu dari orang-orang yang tidak mengerti dan semisalnya, dimana dia dihukumi bahwa ia masuk orang-orang kafir, maka tidak boleh bersikap gegabah dengan menghukuminya kafir kecuali setelah sampai hujjah kepada salah satu di antara mereka dengan risalah yang dapat menjelaskan kepada mereka bahwa mereka telah menyelishi petunjuk Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam, walaupun perkataan mereka itu tidak diragukan lagi bahwa hal itu adalah termasuk kekufuran. Demikianlah pembicaraan dalam mengkafirkan orang-orang tertentu.” (Majmu’ah Rasail wa Masail, III/348).

-------------------
Disalin dengan ringkas dari kitab al-Wajiiz fii ‘Aqidatis Salafish Shaalih, Ahlis Sunnah wal Jama’ah, penulis Abdullah bin Abdil Hamid al-Atsari, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Intisari Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, hal. 147-150 (termasuk catatan kaki dari editor), oleh penerbit Pustaka Imam Syafi’I, cetakan pertama, Shafar 1427 H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar