Sabtu, 10 Oktober 2009

Jika Umur Telah Mencapai Empat Puluh Tahun

Oleh : Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim

Saudaraku tercinta, di manakah kita di antara mereka?
‘Abdullah bin Dawud berkata, “Adalah salah satu dari mereka (kaum Salaf), jika umurnya telah mencapai empat puluh tahun, maka mereka menggulung tempat tidurnya, mereka sama sekali tidak tidur. Akan tetapi memenuhi malamnya dengan shalat, tasbih, dan istighfar… mereka menggantikan waktu (umur) yang telah lalu dengan kebaikan dan menyiapkan diri untuk menghadapi kehidupan yang akan datang.”

Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang cerdas,
mereka menolak dunia dan takut akan fitnahnya.
Mereka melihat apa yang ada di dalamnya, ketika mereka tahu,
bahwa tidak ada tempat bagi orang yang hidup di dalamnya.
Mereka menjadikannya sebagai gelombang,
dan menjadikan amal sebagai kapal.

‘Abdullah bin Tsa'labah berkata dalam nasihatnya, “Tertawalah engkau, barangkali kain kafan untukmu telah ada di tangan tukang potong kain!!”[1]


Wahai orang yang sedang tidur, perjalanan telah dimulai. Wahai yang membuat bangunan di atas tangga-tangga yang penuh dengan air bah, cepatlah melakukan amal sebelum umurmu punah… janganlah engkau melupakan Dzat Yang menghitung hembusan nafasmu saat perjumpaan denganmu.

Saudaraku tercinta…
Ambillah rizki secukupnya,
ambillah yang jernih dari kehidupan ini.
ini semua akan berakhir,
bagaikan lentera ketika padam.

Yahya bin Mu’adz rahimahullah berkata, “Dunia adalah tempat kesibukan, sedangkan akhirat adalah tempat terjadinya hal-hal yang menakutkan. Dan senantiasa seorang hamba ada di antara kesibukan dan juga kegoncangan (hal-hal yang menakutkan) sehingga datang kepadanya keputusan, ke Surgakah ia atau ke Neraka.” [2]

Saudaraku semuslim…
Siapa yang mencurahkan kemampuannya untuk berfikir dengan sempurna, dia akan memahami bahwa dunia ini adalah sebuah perjalanan, maka dia akan selalu mengumpulkan perbekalan untuknya. Dia juga tahu bahwa perjalanan tersebut dimulai dari punggung seorang ayah, menuju perut seorang ibu, lalu ke dunia, ke kuburan, setelah itu menuju alam Mahsyar, dan yang terakhir menuju tempat yang abadi. Inilah tempat keselamatan dari segala “penyakit,” yaitu tempat yang kekal abadi. Sedangkan syaitan menawan kita untuk tetap menuju dunia, sehingga kita terus bersemangat dalam keluarga yang hancur berantakan, kemudian dia selalu mendorong kita menuju tempat kita semula. Ketahuilah bahwa batas kehidupan di dunia hanyalah hitungan nafas, perjalanan yang cepat dan tak terasa bagaikan perjalanan sebuah kapal yang tidak dirasakan oleh penumpang yang duduk di atasnya.

Sudah semestinya, dia harus memiliki bekal, dan tidak ada bekal menuju perjalanan akhirat kecuali ketakwaan. Oleh karena itu, seseorang haruslah sabar dan merasakan lelahnya kehidupan dalam melaksanakan ketakwaan, sehingga dalam perjalanannya dia tidak berkata, “Ya Rabb-ku! Kembalikanlah aku.” Dan dikatakan kepadanya, “Tidak!” Maka hendaklah orang yang lalai mewaspadai sifat malas dalam perjalanannya, karena sesungguhnya Allah akan memperlihatkan tanda-tanda kekuasaan-Nya bagi orang yang memutuskan perjalanannya sebagai ancaman baginya dengan harapan agar mereka tidak menyimpang dari jalan yang lurus. Siapa yang menyimpang dari jalan-Nya yang lurus lalu melihat sesuatu yang ditakutinya, maka kembalilah kepada Allah dari jalan yang dilaluinya dengan bertaubat dari kemaksiatan.[3]

Keadaan di dunia sebagaimana disifati oleh ar-Rabi' bin Khaitsam, ketika beliau ditanya, “Bagaimana keadaanmu pagi ini wahai Abu Yazid?” Beliau menjawab, “Di pagi ini aku berada dalam keadaan lemah dan penuh dengan dosa, kita memakan rizki kita sambil menunggu ajal kita.” [4]

Syumaith bin ‘Ajlan jika menyifati ahli dunia, beliau berkata, “Mereka semua bingung dan mabuk, penunggang kudanya berlari, sedangkan pejalan kaki berjalan dengan kakinya, yang fakir dan yang kaya tidak pernah merasa puas di dalamnya.” [5]

Saudaraku…
Bersikap qana’ah-lah dengan duniamu dan relalah dengan yang ada padamu, karena di dalamnya tidak ada kesenangan selain kesenangan badan. Siapa saja yang mempersiapkan dirinya untuk berjumpa dengan Allah, dan menggunakan waktunya untuk melakukan amal-amal yang bemanfaat baginya, maka Allah akan memberikan kemanfaatan baginya di hari Kiamat. Oleh karena itu, dia akan berbahagia pada suatu hari di mana harta dan anak tidak berguna… hari di mana lembaran-lembaran bertebaran dan hati bergetar. Pada hari itu engkau melihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal mereka sama sekali tidak mabuk, akan tetapi penyebabnya adalah adzab Allah sangatlah pedih. Anas bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Aku melihat Shaf-wan bin Salim, jika dikatakan kepadanya besok hari Kiamat, maka seakan-akan dia sama sekali tidak me-miliki bekal dari ibadah.” [6]

Mereka adalah kaum yang selalu melakukan ibadah dengan giat dan memikirkan kehidupan akhirat mereka dengan mempersiapkan bekal untuknya.

Jika jiwa itu menjauh dari kebenaran,
maka kita membentaknya.
Dan jika dia menghadap dunia dengan
meninggalkan akhirat,
maka kita menahannya.
Dia menipu kita dan kita menipunya,
hanya dengan kesabaran kita dapat mengalahkannya. [7]

Muhammad bin al-Hanafiyyah rahimahullah berkata, “Segala sesuatu yang dicari bukan karena Allah, niscaya akan hancur.” [8]

Siapa yang mencari dunia untuk dunia, maka dia akan meninggalkannya di hembusan nafas terakhirnya, dia akan pergi di detik-detik yang sangat menakutkan. Dan siapa yang mencari dunia untuk Surga yang luasnya seluas langit dan bumi, maka cukuplah baginya apa yang diinginkannya. Dunia baginya sebagai jalan menuju Darus Salam (Surga) dengan kasih sayang (rahmat) Allah dan ridha/karunia-Nya.

Orang yang selalu melakukan kebaikan dan ketaatan adalah manusia biasa, seperti kita yang mencintai dunia dan segala macam perhiasannya. Akan tetapi mereka lebih mengutamakan yang kekal daripada yang fana, sehingga Allah memudahkan baginya jalan untuk mendapatkannya dan mengeluarkan mereka dari berbagai kesulitan.

Aku sabar dalam menghadapi kenikmatan ketika dia pergi,
dan aku menetapkan kesabaran di dalam diriku sehingga dia terus menetap.
Berhari-hari jiwaku berada dalam kemuliaan,
lalu ketika dia melihat tekadku ada di dalam kehinaan, dia pun ikut merasakan kehinaan.
Lalu aku berkata kepadanya, “Wahai jiwa, matilah dalam keadaan mulia,
dahulu dunia memihak kepada kita, tetapi sekarang dia telah pergi.”
Tidak wahai kekasihku. Demi Allah, tidak ada satu musibah pun,
berlalu kepada hari-hari melainkan dia akan pergi.
Jiwa itu sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang kepadanya, jika dia diberi makan,
maka dia memiliki kekuatan dan jika tidak, maka dia akan lumpuh.[9]

Seseorang berkata kepada al-Fudhail bin 'Iyadh, “Bagaimana keadaanmu pagi ini wahai Abu ‘Ali?” Beliau adalah orang yang tidak senang dengan ungkapan: “Bagaimana keadaanmu pagi ini?” atau “Bagaimana keadaanmu sore ini?” Lalu beliau menjawab, “Dalam keadaan sehat.” Lalu orang tadi bertanya, “Bagaimana keadaanmu?” Beliau berkata, “Keadaan mana yang engkau tanyakan? Keadaan dunia atau akhirat?” Jika engkau menanyakan keadaan dunia, maka sesungguhnya dunia telah berpaling dan pergi. Dan jika engkau bertanya tentang keadaan akhirat, maka aku sebagaimana engkau melihat orang yang banyak melakukan perbuatan dosa, amalnya lemah, umurnya sudah punah, tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian dan hari Akhir, tidak takut akan kematian, tidak menghias diri untuk menghadapi kematian, akan tetapi hanya menghias diri untuk dunia.”[10]

Kebanyakan dari kita sebagaimana digambarkan oleh ‘Auf bin ‘Abdillah ketika beliau ditanya, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menyempatkan kehidupannya untuk dunia dengan sisa hidupnya untuk akhirat, sedangkan kalian menyempatkan kehidupan kalian untuk akhirat dengan sisa hidup kalian untuk dunia.” [11]

Dan yang kita lihat sekarang ini berupa pengorbanan waktu, kemampuan, pemberian, dan penelitian hanya untuk dunia, maka kita dapatkan sungguh menakjubkan… . Bahkan sebagian dari mereka jika akan membeli sebuah kebutuhan yang sangat sederhana, akan menyibukkan dirinya untuk memikirkannya selama beberapa hari, dia telah membuang waktunya yang sangat berharga… . Akan tetapi jika engkau melihatnya di dalam masjid, maka engkau akan melihat orang tersebut melakukan shalat, seperti ayam yang sedang makan, dia sama sekali tidak memperhatikan sujud maupun ruku’nya, bahkan dia mendahului imam, tidak melakukannya dengan khusyu’, dan tidak pernah terlihat di mukanya bekas air mata.

Kebanyakan dari manusia mabuk dengan urusan dunia dan tidak sedikit pun hatinya tergerak ketika kesempatan melakukan kebaikan hilang dari dirinya, atau ketika kesempatan yang penuh dengan pengabulan do’a dari Allah tiba, maka engkau akan melihatnya dalam keadaan lalai dan bermain-main, mengumpulkan lalu membuangnya, menambahnya lalu dikurangi dari dirinya, seolah-olah hari-hari yang telah berlalu akan kembali atau bulan-bulan yang telah pergi akan ditemuinya lagi?!

Bandar berbicara tentang Yahya bin Sa’id dengan ungkapannya, “Aku ikut bersamanya selama dua puluh tahun dan aku sama sekali tidak pernah mendapatinya bermaksiat kepada Allah.”[12]

Saudaraku semuslim…
Bersabarlah dalam menghadapi pedihnya perjalanan, ibadah di waktu malam, sore dan pagi.
Janganlah engkau merasa gelisah dan jangan pula merasakan lemah di dalam mencarinya, karena kegalauan ada di antara gelisah dan putus asa. Aku menyaksikan pengalaman di setiap hari, bahwa kesabaran memiliki akibat yang terpuji. Sedikit sekali orang yang giat mencari dengan disertai, kesabaran kecuali dia akan berbahagia dengan kemenangan. [13]

Yahya bin Mu’adz rahimahullah berkata, “Wahai manusia engkau mencari dunia dengan sungguh-sungguh, dan engkau mencari akhirat dengan usaha orang yang tidak membutuhkannya. Padahal dunia sudah mencukupimu walaupun engkau tidak mencarinya. Dan akhirat hanya didapatkan dengan usaha yang sungguh-sungguh dalam mencarinya, maka fahamilah keadaanmu!”

[Disalin dari kitab Ad-Dun-yaa Zhillun Zaa-il, Penulis ‘Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim, Edisi Indonesia Menyikapi Kehidupan Dunia Negeri Ujian Penuh Cobaan, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Al-‘Aaqibah, hal. 88.
[2]. Az-Zuhd, hal. 248, karya al-Baihaqi.
[3]. ‘Iddatush Shaabiriin, hal. 330.
[4]. Shifatush Shafwah (III/67).
[5]. Shifatush Shafwah (III/346).
[6]. Hilyatul Auliyaa' (III/159).
[7]. Shifatush Shafwah (IV/114).
[8]. Hilyatul Auliyaa’ (III/176).
[9]. Syadzaraatudz Dzahab (II/364).
[10]. Hilyatul Auliyaa’ (VIII/86).
[11]. Hilyatul Auliyaa’ (IV/242).
[12]. Tadzkiratul Huffazh (I/299).
[13]. Mawaariduzh Zham-aan (III/276).

Sumber : almanhaj.or.id
Baca Selengkapnya....

Sabtu, 19 September 2009

Ulama Salaf Dalam Kebencian Mereka Terhadap Popularitas

Dari Habib bin Abu Tsabit diriwayatkan bahwa ia berkata: “Suatu hari Ibnu Mas’ud keluar rumah. Tiba-tiba orang-orang mengikutinya. Beliau kemudian bertanya: “Apakah kalian membutuhkan sesuatu?” Mereka menjawab: “Tidak, kami hanya ingin berjalan bersamamu.” Beliau berkata: “Pulanglah, yang demikian itu adalah kehinaan bagi yang mengikuti dan malapetaka bagi yang diikuti.” (Shifatush Shofwah, I:406).

Al-Hasan pernah berkata: “Suatu hari aku pernah bersama Ibnul Mubarak. Kami mendatangi siqayah (tempat mengambil air minum) yang didatangi banyak orang untuk diambil airnya sebagai air minum. Lalu beliau mendekati perigi itu dan meminum airnya. Orang-orang tidka mengetahui bahwa beliau adalah Ibnul Mubarak. Maka merekapun berdesak-desakan sampai mendorong beliau. Ketika beliau keluar dari kerumunan, beliau berkata kepadaku: “Hanya beginilah kehidupan itu.” Yakni pada saat kita tidak dikenal dan tidak dihormati.”


Perawi meneruskan: “Ketika kami sedang berada di Kufah, beliau membacakan bab Manasik, sehingga beliau sampai pada suatu hadits, yang di dalamnya tercantum: “Demikian pendapat Abdullah dan demikian pulalah pendapat kami.” Lalu beliau bertanya: “Siapa yang menulis bahwa ini adalah pendapat saya?” Aku menjawab: “Tentu orang bertugas menulisnya.” Beliau lalu terus saja menghapus tulisan itu dengan tangannya hingga hilang. “Siapa saya, sehingga pantas ditulis pendapat saya.” (Shifatush Shofwah, IV: 135)

Dari Muhammad bin al-Munkadir diriwayatkan bahwa ia berkata: “Ada sebuah tiang di masjid Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam yang biasa kugunakan untuk sholat dan belajar di malam hari. Pada waktu itu penduduk Madinah mengalami paceklik. Maka merekapun keluar menjalankan sholat Istisqa’. Namun hujan tidak juga turun. Pada malam harinya, seperti biasa aku sholat Isya’ di masjid Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam lalu aku mendatangi tiang itu dan menyandarkan tubuhku di sana (istirahat). Tiba-tiba datang seorang lelaki berkulit hitam kecoklat-coklatan, mengenakan kain sarung dan pada lehernya tergantung kain yang lebih kecil lagi. Lelaki itu kemudian mendekati tiang yang di depanku, sementara (tanpa dia ketahui) aku berada di belakangnya. Kemudian dia sholat dua raka’at dan berdoa: “Wahai Rabb-ku, para penduduk kota Nabi-Mu telah keluar meminta hujan, namun Engkau tidak juga mencurahkan hujan. Kini aku bersumpah atas Nama-Mu, turunkanlah hujan.”

Ibnul Munkadir bergumam: “Jangan-jangan ini orang gila.” Ia meneruskan: “Tatkala lelaki itu meletakkan tangannya, tiba-tiba aku mendengar suara guntur, diikuti dengan hujan yang turun dari langit yang menyebabkan diriku berkeinginan kembali ke rumah. Ketika ia mendengar suara hujan, ia segera memuji Allah dengan berbagai pujian yang belum pernah kudengar yang semacam itu sebelumnya.” Perawi melanjutkan: “Kemudian lelaki itu berkata: “Siapa saya, dan apa kedudukan saya, sehingga doa saya terkabul. Akan tetapi aku tetap berlindung dengan memuji Diri-Mu dan berlindung dengan Pertolongan-Mu.” Lalu perawi melanjutkan: “Kemudian lelaki itu menggunakan kain yang digunakan untuk menyelimuti tubuhnya, lalu kain yang bergantung di punggungnya ia turunkan ke kakinya. Setelah itu ia sholat. Ia terus menjalankan sholatnya, sampai ia merasa akan datang Shubuh. Setelah itu ia melakukan sholat Witir dan sholat sunnah Fajar dua raka’at. Kemudian dikumandangkan iqomat Shubuh, ia turut sholat berjama’ah bersama orang banyak. Akupun turut sholat bersamanya. Setelah imam mengucapkan salam, ia segera bangkit dan keluar masjid. Akupun mengikutinya dari belakang hingga pintu masjid. Lalu dia mengangkat pakaiannya dan berjalan di air yang tergenang (karena hujan). Akupun ikut mengangkat pakaianku dan berjalan di genangan air. Namun kemudian aku kehilangan jejak.

Pada malam selanjutnya, aku kembali sholat Isya’ di masjid Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam, lalu aku mendatangi tiang tersebut dan berbaring di sana. Tiba-tiba lelaki itu datang lagi dan berdiri di tempat biasa. Ia menyelimuti tubuhnya dengan kain, sementara kain lainnya yang berada di punggungnya ia selempangkan di kedua kakinya, kemudian melakukan sholat, sampai ia khawatir kalau datang waktu Shubuh, baru ia melakukan sholat Witir dan dua raka’at sunnah Fajar. Setelah itu iqomat berkumandang. Ia langsung sholat berjama’ah, akupun turut sholat bersamanya. Ketika imam telah mengucapkan salam, ia keluar. Aku juga keluar megikutinya. Ia berjalan dengan cepat. Akupun mengikutinya hingga sampai ke salah satu rumah di kota Madinah yang kukenal. Akupun kembali ke masjid.

Setelah terbit matahari, dan aku telah menunaikan sholat Dhuha. Aku segera keluar mendatangi rumah tersebut. Kudapati dirinya sedang duduk menjahit. Ternyata ia tukang sepatu. Ketika ia melihatku, ia segera mengenaliku. Ia berkata: “Wahai Abu Abdillah, selamat datang. Ada yang bisa kubantu? Anda ingin saya buatkan sepatu?” Aku segera duduk dan berkata: “Bukankah engkau yang menjadi temanku di malam yang pertama itu?” Rona wajahnya berubah menghitam dan berteriak sambil berkata: “Wahai Ibnul Munkadir, apa rurusanmu dengan kejadian itu?” Perawi melanjutkan: “Lelaki itu marah dan aku segera meninggalkannya.” Aku mengatakan: “Sekarang juga aku keluar dari tempat ini.”

Pada malam ketiga, aku kembali sholat Isya’ di akhir waktu di masjid Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam, kemudian menuju tempatku untuk berbaring. Namun lelaki itu tak kunjung datang. Ibnul Munkadir bergumam: “Inna lillahi, apa yang telah aku perbuat?”

Pagi harinya, aku duduk-duduk di masjid hingga matahari terbit. Kemudian aku keluar untuk mendatangi rumah yang ditempati lelaki tersebut. Ternyata kudapati pintunya terbuka, dan ternyata rumah itupun sudah tidak berpenghuni lagi. Pemilik rumah yang ditinggali lelaki itu bertanya kepadaku: “Wahai Abu Abdillah, apa yang terjadi antara anda dengan dirinya kemarin?” Aku balik bertanya: “Apakah gerangan yang terjadi dengannya?” Orang-orang di situ berkata: “Ketika anda keluar dari rumahnya kemarin, lelaki itu segera membentangkan kainnya di tengah ruangan rumahnya. Kemudian ia tidak menyisakan selembar kulit ataupun sepatu. Semuanya dia letakkan di dalam kainnya, lalu diangkut. Setelah itu kami tidak tahu kemana lagi dia pergi.”

Muhammad bin al-Munkadir berkata: “Setiap rumah yang ada di kota Madinah yang kuketahui pasti kusinggahi untuk mencarinya. Namun aku tidak menemukannya lagi. Semoga Allah merahmatinya.” (Shifatush Shofwah, II: 190-192)

-------------------------
Disalin dengan ringkas dari kitab ‘Ainu Nahnu min Akhlaqis-salaf, penulis Abdul Aziz bin Nashir al-Jalil, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Sudah Salafikah Akhlaq Anda?, hal. 52-59, oleh penerbit Pustaka at-Tibyan, Solo, cetakan kedua, April 2003 M.

Baca Selengkapnya....

Jumat, 18 September 2009

Kaidah Ahlussunnah wal Jama’ah Dalam Perkara Takfir

Ahlussunnah wal Jama’ah tidak mengkafirkan seorang muslim karena suatu dosa, yang tidak ada suatu dalilpun dari al-Qur-an dan as-Sunnah bahwa hal tersebut termasuk perbuatan kufur. Jika seorang hamba meninggal dunia dalam keadaan seperti ini –yakni selama tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa yang berbuat suatu dosa, dia kafir-, maka perkaranya kembali kepada Allah Ta’ala, jika Allah berkehendak pasti dia disiksa, dan jika Dia berkehendak lain pasti diampuni. Lain halnya dengan firqah-firqah sesat dimana mereka menghukumi kafir bagi orang yang berbuat dosa besar atau dengan sebutan manzilah baina manzilatain (dengan maksud ‘dia bukan muslim dan juga bukan kafir’).

Sungguh Nabi shalallahu’alaihi wasallam telah memperingatkan akan hal itu dalam sabdanya: “Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya: ‘Wahai kafir!’ maka pasti ungkapan tersebut kembali kepada salah satu di antara dua orang itu, jika benar-benar seperti yang dia ucapkan, dan kalau tidak maka ungkapan tadi akan kembali kepada orang yang mengatakan sendiri.” (HR. Muslim, no. 60 dan Ahmad (II/44) dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhu)


Dan sabdanya pula: “Barangsiapa memanggil seseorang dengan kekafiran atau dengan ucapan: ‘Wahai musuh Allah!’, sedangkan faktanya tidak demikian melainkan akan kembali kepadanya.” (HR. al-Bukhari dalam ‘Adabul Mufrad, no. 433 dan Muslim, no. 61 dari sahabat Abu Dzarr al-Ghifari).

Beliau juga bersabda: “Tiada seseorang melempar (ucapan kepada) orang lain dengan kefasikan maupun kekufuran, melainkan ucapan tersebut pasti kembali kepadanya, jika temannya (yang dicela) itu tidak ada sifat yang demikian.” (HR. al-Bukhari, no. 6045 dalam kitab Shahih-nya dan Ahmad (V/181) dari sahabat Abu Dzarr al-Ghifari).

Beliau bersabda: “Barangsiapa menuduh seorang mukmin dengan kekafiran, maka ia seperti membunuhnya.” (HR. al-Bukhari, no. 6105 dari Tsabit bin adh-Dhahhak).

Beliau bersabda pula: “Jika seseorang mengatakan kepada saudaranya: ‘Wahai orang kafir!’ maka pasti ungkapan tersebut kembali kepada salah satu di antara kedua orang itu.” (HR. al-Bukhari, no. 6103 dari Abu Hurairah).

Ahlussunnah wal Jama’ah membedakan antara hukum secara mutlak terhadap ahli bid’ah yang disebabkan kemaksiatan atau kekafiran dengan hukum secara khusus terhadap seorang muslim yang diyakini ke-Islaman-nya, yang timbul darinya suatu perbuatan bid’ah, bahwa dia adalah orang yang bermaksiat, fasik atau kafir. Maka, Ahlussunnah tidak menghukumi orang tersebut sampai dijelaskan kebenaran kepadanya, yaitu dengan cara iqomatul hujjah (menegakkan hujjah atau argumentasi) dan hilangnya syubhat (keraguan). Hal ini berlaku dalam permasalahan yang samar (tersembunyi) bukan permasalahan yang sifatnya zhahir (jelas dan nyata). Kemudian Ahlussunnah juga tidak mengkafirkan seorang muslim tertentu kecuali bila benar-benar telah memenuhi persyaratan dan bebas dari segala halangan.

“Siapa yang tetap ke-Islaman-nya secara yakin maka tidak akan hilang dengan suatu yang meragukan.” Atas dasar kaidah ini, para salafush sholih berpijak. Maka merekalah yang paling berhati-hati dalam mengkafirkan orang lain. Oleh karena itu, ketika ‘Ali bin Abi Thalib ditanya tentang penduduk Nahrawan, “Apakah mereka telah kafir?” Beliau menjawab, “Mereka menjauh dari kekafiran.” Lalu ditanya lagi, “Apakah mereka itu termasuk orang-orang munafik?” Beliau menjawab, “Kalau orang-orang munafik tidak menyebut (nama) Allah melainkan sedikit, sedang mereka senantiasa menyebut (nama) Allah pagi dan sore. Sesungguhnya mereka adalah saudara kita yang berbuat aniaya kepada kita.” (Dikeluarkan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitabnya, as-Sunan al-Kubra, juz VIII hal 173).

Penting bagi kita untuk membedakan antara macam dan pribadi tertentu dalam hal pengkafiran. Mengingat tidak semua perbuatan kufur menjadikan pelakunya tertentu disebut orang kafir. Maka hendaknya seseorang dapat membedakan antara menghukumi perkataan bahwa (perbuatan) itu kafir, dengan menghukumi seorang tertentu bahwa dia kafir. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Orang yang menakwilkan (menyelewengkan makna) lagi bodoh dan orang yang berhalangan hukumnya tidak seperti hukum yang berlaku pada orang yang menentang dan durhaka. Bahkan Allah telah menjadikan segala sesuatu itu sesuai dengan ketentuan-Nya.” (Majmu’ah Rasail wa Masail, V/382).

Beliau rahimahullah juga mengatakan: “Jika hal ini telah diketahui, maka pengkafiran orang tertentu dari orang-orang yang tidak mengerti dan semisalnya, dimana dia dihukumi bahwa ia masuk orang-orang kafir, maka tidak boleh bersikap gegabah dengan menghukuminya kafir kecuali setelah sampai hujjah kepada salah satu di antara mereka dengan risalah yang dapat menjelaskan kepada mereka bahwa mereka telah menyelishi petunjuk Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam, walaupun perkataan mereka itu tidak diragukan lagi bahwa hal itu adalah termasuk kekufuran. Demikianlah pembicaraan dalam mengkafirkan orang-orang tertentu.” (Majmu’ah Rasail wa Masail, III/348).

-------------------
Disalin dengan ringkas dari kitab al-Wajiiz fii ‘Aqidatis Salafish Shaalih, Ahlis Sunnah wal Jama’ah, penulis Abdullah bin Abdil Hamid al-Atsari, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Intisari Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, hal. 147-150 (termasuk catatan kaki dari editor), oleh penerbit Pustaka Imam Syafi’I, cetakan pertama, Shafar 1427 H.

Baca Selengkapnya....

Kamis, 15 Januari 2009

Keajaiban Doa Ibu

Oleh : Fariq Gasim Anuz

Ketika saya sedang duduk di ruang kerja di kantor Islamic Center di Jeddah, Saudi Arabia di penghujung bulan Dzulhijjah 1429 H atau di akhir bulan Desember 2008 M, masuklah seorang anak remaja dengan mengenakan gamis, kopiah dan sorban merah sambil mengucapkan salam.

Setelah saya berkenalan dengannya ternyata dia adalah keponakan salah seorang pengurus dan relawan di kantor Islamic Center yaitu ustadz Muhammad Ash Shubhi yang datang ke kantor tiap hari Jumat untuk memberikan ceramah kepada para mu’allaf yang berasal dari Philpina. Nama anak tersebut Muadz Ash Shubhi berumur 17 tahun dan masih duduk di kelas 2 SMA.

Tampak dari anak tersebut wibawa dan penuh kedewasaan, saya tinggalkan pekerjaan saya dan duduk menemani Muadz untuk mengenal dia lebih jauh lagi. Ternyata dia telah selesai menghapal Al Quran 30 Juz, dan sekarang dia rajin mengulang hapalannya agar tidak lupa dan hilang. Ia terkadang mengimami shalat berjamaah di Masjid dekat rumahnya jika imam terlambat atau berhalanagan hadir. Dia juga aktif berperan sebagai mu’adzin di masjid tersebut sejak umur 14 tahun. Hanya saja terakhir ini pengurus masjid menggantikannya dengan mu’adzin dari orang dewasa dengan alasan dia masih anak-anak dan menjanjikan kepadanya jika telah selesai sekolah maka dia bisa menjadi mu’adzin lagi.

Saya memberikan kesempatan kepadanya untuk berbicara lebih banyak, diantara hal yang menarik dari pembicaraan Muadz yaitu ketika dia bercerita tentang masa kecil Syaikh Doktor Abdul Aziz Fauzan Al-Fauzan.

“Ketika itu, orang tuanya memiliki banyak kambing dan anak-anaknya mendapatkan tugas untuk menggembalakan kambing secara bergantian sepulang mereka dari sekolah. Hari ini bagian Muhammad kakaknya, keesokan harinya giliran Abdul Aziz dan besoknya lagi giliran adiknya. Saat giliran adiknya bertugas untuk menggembalakan kambing maka adiknya datang kepada ibunya sambil menangis dan berkeberatan untuk menggembalakan kambing. Karena merasa kasihan kepada anaknya yang paling kecil maka si ibu menyuruh kakaknya yang paling besar yaitu Muhammad untuk menggembalakan kambing. Kakaknya menolak dengan alasan bahwa dia sudah menjalankan kewajibannya 2 hari yang lalu. Maka si ibu menyuruh Abdul Aziz untuk menggembalakan kambing, Abdul Aziz menuruti permintaan ibunya dan tidak membantahnya. Keesokan harinya giliran kakaknya yang tertua bertugas menggembalakan kambing, maka kakaknya datang kepada ibunya sambil menangis pula berkeberatan untuk mengembalakan kambing. Si ibu menyuruh Abdul Aziz lagi untuk menggembalakan kambing. Abdul Aziz menjalankan perintah ibunya tanpa membantah sedikitpun. Akhirnya setiap hari Abdul Aziz menggembalakan kambing milik orang tuanya.”

Syaikh Abdul Aziz merasakan banyak sekali kemudahan yang Allah berikan kepadanya dan beliau berpendapat di antara sebabnya adalah bakti seorang anak dan doa kedua orang tuanya.

Kisah yang diceritakan Muadz sangat berkesan dihati saya, cerita tersebut mengingatkan saya kepada ucapan Profesor Doktor Abdul Karim Bakkar dan Profesor Doktor Shalih Al Ayid dalam bukunya.

Profesor Doktor Abdul Karim Bakkar berkata,

"Sesungguhnya doa kedua orangtua untuk anak-anaknya ada dua macam, ada yang disebabkan rasa iba dan kasihan, hal ini dilakukan oleh kedua orang tua meskipun anak-anaknya kurang berbakti kepada mereka. Ada lagi doa dari orang tua diucapkan dari lubuk hati yang paling dalam, doa tersebut merupakan ungkapan rasa senang, puas, ridha dan kagum kepada perbuatan dan bakti anak mereka, doa yang seperti inilah yang lebih pantas untuk dikabulkan oleh Allah.”

(50 Lilin Untuk Menerangi Jalan Hidup Kalian)

Profesor Doktor Shalih Al Ayid berkata,

"Sesungguhnya doa ibu tidak mungkin meleset, ibuku -semoga Allah merahmatinya- selalu ridha terhadap anak-anaknya dan sangat mencintai mereka, oleh karena itu ia selalu berdoa memohon kebaikan untuk mereka di setiap waktu, berdoa dengan hati yang bersih tanpa ada dendam dan kebencian, oleh karena itu saya melihat dalam segala urusanku adalah hasil dari doa beliau secara nyata dan tidak ada keraguan sedikitpun, berapa banyak pintu kebaikan terbuka untukku dengan tidak disangka-sangka dan berapa banyak tipu-daya orang-orang yang hasad dan dengki menjadi runtuh karena karunia Allah disebabkan doa ibuku yang dikabulkan-Nya."

(Dam'ah 'ala Qabri Ummi)

Sumber : Postingan Abu Ishaq di Milist As-Sunnah pada hari Rabu, 14 Januari 2009.

Baca Selengkapnya....

Selasa, 13 Januari 2009

Betapa Berbahayanya Bid’ah Meskipun Dianggap Kebaikan Oleh Banyak Orang

Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu’anha, bahwa Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa mengada-adakan dalam urusan kami ini sesuatu yang tidak termasuk darinya, maka dia tertolak.”[1]

Disebutkan dalam riwayat Muslim: “Barang siapa melakukan suatu perbuatan yang tidak berpedoman kepada perintah kami, maka dia tertolak.”[2]

Jadi, mendekatkan diri kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala dengan selain dari apa yang terdapat pada al-Quran, as-Sunnah, dan cara Salafush Shalih, adalah bahaya yang sangat besar, selain ia juga merupakan tindakan lancang serta melanggar ketentuan-ketentuan Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya, adalah mudah bagi orang yang mencuri uang sebesar satu dirham untuk mencuri beribu-ribu dirham (setelah itu -ed). Karena sesungguhnya perbuatan mencuri tersebut melanggar ketentuan-ketentuan Allah. Sama halnya dengan keadaan pelaku bid’ah, sementara bid’ah-bid’ah yang besar -bahkan terkadang syirik kepada Allah- akan terasa ringan olehnya. Karena, awal keberpalingan dari Sunnah yang shahih serta ridha terhadap bid’ah, merupakan jalan untuk menerima setiap kesesatan dan penyimpangan.

Sebagaimana kemusyrikan yang terjadi pada kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam yang bermula dari membuat patung orang-orang shalih setelah kematian mereka. Lalu, syaitan menghiasi tujuan dari perbuatan itu, yaitu agar mereka selalu mengingatnya dan meneladani amal-amal baik mereka. Syaitan pun membisikkan kepada orang-orang setelah mereka agar menyembah patung orang-orang shalih tersebut sebagai sesembahan selain Allah Subhaanahu wa Ta’ala dengan menanamkan dugaan bahwa nenek moyang mereka telah melakukan hal itu sebelumnya.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma, dia berkata: “Berhala-berhala yang ada pada kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam itulah yang kemudian dikenal di kalangan bangsa Arab setelah itu. Berhala Wadd untuk suku Kalb di daerah Daumatul Jandal (kota di negeri Syam yang dekat dengan Iraq -pent). Berhala Suwa’ untuk suku Hudzail (dekat dengan Makkah). Berhala Yaghuuts untuk suku Murad dan kemudian untuk Bani Ghuthaif di Juruf yang ada di negeri Saba’. Berhala Ya’uuq untuk suku Hamdan. Dan Berhala Nasr untuk bangsa Himyar, yaitu untuk keluarga Dzil Kala’. Mereka adalah nama-nama orang-orang shalih dari kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam. Tatkala mereka meninggal dunia, syaitan membisiki kaum mereka agar mereka mendirikan patung di majelis-majelis tempat mereka berkumpul dan menamakannya dengan nama-nama orang shalih tersebut. Lalu, mereka melakukannya, namun patung tersebut tidak disembah. Hingga akhirnya setelah mereka meninggal dunia dan ilmu pun telah dihapus, hingga patung-patung itu pun disembah.”[3 ]

Demikianlah, syaitan telah mendekati mereka secara berangsur-angsur melalui pintu bid’ah, dengan mengobarkan semangat beribadah dan keikhlasan terhadap para wali dan orang-orang shalih, hingga akhirnya syaitan mampu menjerumuskan mereka pada perbuatan-perbuatan musyrik dan kufur. Akan tetapi, seandainya mereka mau merenungi perihal diri mereka dan mencegah dirinya tersebut dari melakukan hal-hal yang berasal dari bujukan hawa nafsu mereka -meskipun tanpa pengaruh ilmu atau tanpa adanya tanda dari petunjuk- niscaya mereka tidak akan menghancurkan diri mereka dengan melakukan hal-hal yang mengantarkan kepada kekufuran dan menempatkannya pada perbuatan-perbuatan yang merugikan. Hal seperti ini pulalah yang terjadi pada orang-orang yang duduk di masjid dengan membuat halaqah (lingkaran -ed) sambil menunggu shalat. Pada setiap halaqah terdapat seorang (pemimpin -ed) dan di tangan mereka terdapat kerikil. Lalu orang itu berkata: “Bertakbirlah sebanyak seratus kali.” Lalu mereka membaca takbir sebanyak seratus kali. Demikian pula yang mereka lakukan dengan bacaan tahlil (Laa ilaaha illallaah) dan tasbih. Karena itulah, ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu sangat mengingkari perbuatan mereka.

Hal ini, sebagaimana disebutkan dalam riwayat shahih, dari al-Hakam bin al-Mubarak, dari ‘Amr bin Yahya, dia berkata: “Aku pernah mendengar ayahku menyampaikan hadits dari ayahnya, dia berkata: “Suatu saat kami duduk di dekat pintu (rumah) ‘Abdullah bin Mas’ud sebelum shalat Shubuh, dan bila dia keluar maka kami pun berjalan bersamanya menuju masjid. Lalu, Abu Musa mendatangi kami dan bertanya: “Apakah Abu ‘Abdirrahman (kunyah bagi Ibnu Mas’ud –red) telah keluar menemui kalian?” Kami menjawab: “Belum.” Ia pun duduk bersama kami hingga Ibnu Mas’ud keluar.

Tatkala ‘Abdullah bin Mas’ud keluar, kami semua berdiri menghampirinya, lalu Abu Musa berkata kepadanya: “Wahai Abu ‘Abdirrahman, sesungguhnya tadi aku telah melihat sesuatu yang aku ingkari di dalam masjid, dan –alhamdulillaah- yang aku lihat selama ini adalah kebaikan. ‘Abdullah bertanya: “Apa itu?” Abu Musa menjawab: “Jika (nanti -ed) kamu masih hidup, niscaya engkau akan melihatnya.” Abu Musa melanjutkan: “Aku melihat di dalam masjid sekelompok orang yang duduk membentuk halaqah (lingkaran) sambil menunggu shalat. Pada setiap halaqah terdapat seorang laki-laki dan di tangan mereka terdapat kerikil,” lalu orang itu berkata: “Bertakbirlah sebanyak seratus kali, mereka pun membaca takbir sebanyak seratus kali.” Lalu orang itu berkata: “Bacalah La ilaaha illallaah seratus kali,” maka mereka pun membaca Laa ilaaha illallaah sebanyak seratus kali. Orang itu juga berkata: “Bacalah tasbih sebanyak seratus kali, lalu mereka pun membaca tasbih seratus kali.”

‘Abdullah bertanya: “Lalu apa yang engkau katakan kepada mereka?” Abu Musa menjawab: “Aku tidak mengatakan apa pun kepada mereka, karena menunggu pendapat darimu atau menunggu perintahmu.” ‘Abdullah berkata: “Mengapa engkau tidak memerintahkan mereka agar menghitung kesalahan-kesalahan mereka lalu engkau menjamin kepada mereka bahwa kebaikan-kebaikan mereka tidak akan sia-sia?”

Kemudian, ‘Abdullah pergi dan kami pun pergi bersamanya hingga dia mendatangi salah satu halaqah tersebut. Ia pun berdiri di dekat mereka seraya bertanya: “Apa yang kalian lakukan ini?” Mereka menjawab: “Wahai Abu ‘Abdirrahman, ini adalah kerikil untuk menghitung bacaan takbir, tahliil (Laa ilaaha illallaah), dan tasbih.” ‘Abdullah berkata: “Kalau begitu, hitunglah kesalahan-kesalahan kalian, dan aku menjamin tidak akan ada sedikit pun dari kebaikan-kebaikan kalian yang sia-sia. Celaka kalian, wahai ummat Muhammad, alangkah cepatnya kehancuran kalian. Para Sahabat Nabi shalallahu’alaihi wasallam kalian masih banyak, baju beliau shalallahu’alaihi wasallam belum lagi usang dan bejana-bejana beliau juga belum pecah. Demi Yang jiwaku ada di Tangan-Nya, apakah kalian berada di atas satu agama yang lebih benar dari agama Muhammad, ataukah kalian mau membuka pintu kesesatan?"

Mereka menanggapi: “Demi Allah, wahai Abu ‘Abdirrahman, tidak ada yang kami inginkan melainkan kebaikan.” ‘Abdullah berkata: “Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun mereka tidak mendapatkannya. Sesungguhnya Rasulullah telah menyampaikan kepada kami, bahwa ada satu kaum yang membaca al-Qur-an, namun bacaan tersebut tidak melebihi tenggorokan mereka. Demi Allah, aku tidak tahu barangkali saja kebanyakan mereka itu berasal dari kalian.” Kemudian, ‘Abdullah pun berpaling meninggalkan mereka. ‘Amr bin Salam berkata: “Kami melihat kebanyakan orang-orang yang berasal dari halaqah-halaqah tersebut turut menyerang kami bersama kaum Khawarij pada perang Nahrawan.”[4]

Demikianlah, tatkala kaum tersebut berdzikir mengingat Rabb mereka tanpa adanya petunjuk dan penerang dari al-Qur-an maupun as-Sunnah, maka akibat dari perbuatan itu mereka turut bersama kaum Khawarij memerangi kaum Muslimin pada perang Nahrawan. Demikianlah, mereka telah keluar dari jalan orang-orang Mukmin, dimulai dari membaca tasbih, Laa Ilaaha illallaah, dan takbir, dan yang mereka inginkan dari hal itu hanyalah kebaikan, -menurut anggapan mereka- demikian pula, mereka hanya menginginkan kebaikan ketika memerangi kaum Muslimin pada perang Nahrawan!! Lalu, kebaikan mana lagi yang telah membuat mereka sampai menyerang kaum Muslimin dan menumpahkan darah mereka?

Catatan kaki :
[1] HR. Al-Bukhari (no. 2697) dan Muslim (no. 1718).
[2] HR. Muslim (No.1718)
[3] HR. Al-Bukhari (no. 4920). Al-Hafizh Ibnu Hajar
rahimahullah telah menyebutkan bahwa hadits ini adalah munqathi’. Sekalipun demikian, derajat hadits ini adalah shahih li ghairihi, karena ia memiliki jalur lain dari Ibnu ‘Abbas dan satu hadits penguat dari murid Ibnu ‘Abbas, yaitu ‘Ikrimah dalam Tafsiir ath-Thabari. Guru kami, Syaikh al-Albani rahimahullah, memberitahukan hal tersebut dan meletakkan keterangan ini pada tahqiq kedua dari kitab Tahdziirus Saajid fii Ittikhaadzil Qubuur Masaajid.
[4] HR. Ad-Darimi (I/68) dan sanadnya shahih. Semua perawinya adalah
tsiqah (dapat dipercaya). Lihat ar-Radd ‘alat Ta ’aqqubil Hatsiits (hlm. 47), karya guru kami, Syaikh al-Albani rahimahullah.

Sumber : Disalin dari Kitab Washiyyatu Muwaddi’, karya Syaikh Husain bin ‘Audah al-‘Awayisyah, diterjemahkan oleh Penerbit Pustaka Imam Syafi’i dengan judul ‘Pesan-pesan Terakhir Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam’, Bab IX : Bahaya Bid’ah, hal. 95-104.

Baca Selengkapnya....

Wasiat Terakhir Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam

Dari al-‘Irbadh bin Sariyah radhiallahu’anhu, dia berkata bahwa (pada suatu hari) Rasulullah shaallahu’alaihi wasallam memberikan nasihat kepada kami dengan nasihat yang sangat berkesan sehingga hati kami terharu dan air mata kami bercucuran. Maka kami pun menyapanya: “Wahai Rasulullah, sepertinya ini pesan perpisahan. Untuk itu, berilah kami wasiat." Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian agar selalu mendengar dan taat meskipun yang memimpin kalian seorang budak hitam (Habsyi). Karena sesungguhnya, siapa yang masih hidup (sepeninggalku) niscaya akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa-ur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham. Jauhilah pula oleh kalian perkara-perkara baru (bid‘ah) karena setiap bid‘ah itu sesat."*

* HR. Abu Dawud, Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 3851), at-Tirmidzi, Shahiih Sunanit Tirmidzi (no. 2157), Ibnu Majah, Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 40), dan lainnya. Lihat: Shahiihut Targhiib wat Tarhiib (no. 34) dan Kitaabus Sunnah (no. 54) oleh Ibnu Abi ‘Ashim, dengan tahqiq guru kami, Syaikh al-Albani rahimahullah. Dan disebutkan dalam satu riwayat an-Nasa-i dan al-Baihaqi yang tertera pada kitab al-Asmaa-u wash Shifaat: “Dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.” Dengan sanad yang shahih, sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Ajwibatun Naafi’ah (hlm. 545) dan Ishlaahul Masaajid (hlm. 11).

Sungguh, sebuah wasiat yang begitu berharga, bukan saja bagi para Sahabatnya, namun juga bagi seluruh ummat Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wasallam sepeninggal beliau hingga akhir zaman nanti. Apabila kita cermati, wasiat ini mengandung beberapa hal penting, di antaranya:
  1. Wasiat takwa selalu tepat disampaikan pada setiap tempat dan kesempatan sebelum wasiat-wasiat lain karena ia merupakan kunci kebaikan dunia dan akhirat.
  2. Mendengar dan taat kepada pemimpin kaum Muslimin yang sah, siapa pun dia, hukumnya wajib selama pemimpin tersebut tidak menyuruh bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.
  3. Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam mengabarkan kepada ummatnya peristiwa yang akan terjadi nanti sepeninggal beliau, berupa perselisihan pendapat antar ummat Islam, dan apa yang Rasulullah beritakan itu benar-benar terjadi. Hal ini membuktikan bahwa Muhammad shalallahu’alaihi wasallam adalah benar-benar seorang Nabi, yang tidaklah beliau berbicara melainkan berdasarkan wahyu dari Yang Maha Mengetahui yang ghaib, yaitu Allah Subhaanahu wa Ta’ala.
  4. Wasiat Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam yang disampaikan kepada ummatnya jauh-jauh hari sebelum wafatnya, mengenai musibah yang akan terjadi setelah beliau tidak berada lagi di tengah-tengah mereka, menunjukkan kasih sayang beliau yang begitu besar. Beliau tidak rela melihat ummatnya berpecah-belah karena perselisihan pendapat tanpa ada solusi yang tepat, benar dan aman dalam mengatasinya.
  5. Berdasarkan hadits di atas, sikap yang benar pada saat ummat Islam berselisih pendapat dan berpecah-belah adalah dengan mengembalikan masalah yang diperselisihkan kepada sunnah Rasul dan Sahabatnya, serta menjauhkan diri dari hal-hal baru yang tidak ada landasannya dalam as-Sunnah.
  6. Berdasarkan wasiat Nabi tersebut, as-Sunnah memiliki keistimewaan hukum dibandingkan dengan al-Qur-an. Pada saat ummat berselisih, as-Sunnah-lah yang seharusnya menjadi penengah dikarenakan ia mengandung hukum yang lebih terperinci daripada al-Qur-an yang masih global. Di samping itu, as-Sunnah juga berfungsi menjelaskan dan menjabarkan hukum-hukum al-Qur-an yang masih umum dan mutlak.
  7. Setiap perkara baru yang menyelisihi as-Sunnah (bid’ah) adalah kesesatan semata dan berpotensi menyesatkan siapa saja yang menganutnya.
  8. As-Sunnah tetap relevan untuk setiap zaman.
Disalin dari bagian pengantar Kitab Washiyyatu Muwaddi’ karya Syaikh Husain bin ‘Audah al-Awayisyah, diterjemahkan oleh Penerbit Pustaka Imam Syafi’i dengan judul ‘Pesan-pesan Terakhir Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam’.

Baca Selengkapnya....

Rabu, 07 Januari 2009

Kisah Keteguhan Imam Ahmad rahimahullah Dalam Menghadapi Fitnah

Imam al-Aajurri rahimahullah berkata, Dikisahkan kepadaku dari al-Muhtadi rahimahullah bahwasanya ia berkata, "Tidak ada yang dapat menghentikan aksi ayahku (yakni al-Watsiq) kecuali seorang Syaikh (yakni Imam Ahmad) yang dibawa dari al-Mashishah. Ia dijebloskan ke dalam penjara selama beberapa waktu. Kemudian pada suatu hari ayahku teringat kepadanya. Ayahku berkata, "Bawalah Syaikh itu kepadaku!" Lalu iapun dibawa dalam keadaan terbelenggu.

Ketika Syaikh itu tiba iapun mengucapkan salam kepada ayahku. Namun ayahku tidak membalas salamnya. Syaikh itu berkata, "Wahai Amirul Mukminin, engkau tidak memperlakukanku dengan adab yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah berfirman, “Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormata, maka balaslah penghormatan itu dengan lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa)”. (QS. 4: 86). dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga memerintahkan kita membalas salam!"

Ayahku pun membalas salamnya, "Wa 'alaikas salam!" balasnya, kemudian berkata kepada Ibnu Abi Duwad, "Tanyakanlah kepadanya!" Syaikh itu berkata, "Wahai amirul mukminin, saya dalam keadaan terikat seperti ini, saya mengerjakan shalat dalam sel tahanan dengan bertayammum, saya tidak diberi air. Lepaskanlah dahulu ikatan saya ini dan berilah saya air agar saya dapat bersuci dan mengerjakan shalat, setelah itu tanyalah yang ingin ditanyakan kepadaku."

Lalu ayahku memerintahkan para pengawal agar mereka melepaskan ikatannya dan memberinya air. Syaikh itupun berwudhu lalu mengerjakan shalat. Kemudian ayahku berkata kepada Ibnu Abi Duwad, "Tanyakanlah kepadanya!", "Sayalah yang semestinya bertanya kepadanya, suruh ia menjawab pertanyaanku!" potong Syaikh tersebut. "Silahkan!" Sahut ayahku.

Maka Syaikh itupun mendatangi Ibnu Abi Duwad dan bertanya kepadanya, "Kabarkan kepadaku tentang perkara yang engkau propagandakan kepada manusia (yaitu perkara kemakhlukan al-Qur'an -red), apakah termasuk perkara yang didakwahkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam?"
"Tidak!" jawab Ibnu Abi Duwad.
"Apakah termasuk perkara yang didakwahkan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu 'anhu?" lanjut Syaikh tersebut.
"Tidak!" jawabnya.
"Apakah termasuk perkara yang didakwahkan oleh Umar bin al-Khaththab radhiallahu 'anhu?" tanyanya lagi.
"Tidak!" jawabnya.
"Apakah termasuk perkara yang didakwahkan oleh Utsman bin Affan radhiallahu 'anhu?" tanyanya lagi.
"Tidak!" jawabnya.
"Apakah termasuk perkara yang didakwahkan oleh Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu?" lanjut Syaikh itu.
"Tidak!" tegaaas Ibnu Abdi Duwad.

Syaikh itu berkata, “Suatu perkara yang tidak didakwahkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak pula Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radhiallahu 'anhum lalu Anda mendakwahkannya kepada umat manusia? Tidak bisa tidak anda harus berkata, 'Mereka (Rasulullah dan para sahabat -ed) mengetahuinya atau mereka tidak mengetauinya' Jika anda katakan, 'Mereka mengetahuinya! namun mereka tidak menyuarakannya.' Maka cukuplah bagi kita semua apa yang cukup bagi mereka, yaitu tidak menyuarakannya! "Jika anda katakan, 'Mereka tidak mengetahuinya! tetapi sayalah yang mengetahuinya!' Sungguh celaka anda ini! Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Khulafaaur Rasyidin radhiyallahu 'anhum tidak mengetahuinya, sementara Anda dan rekan-rekan anda mengetahuinya!"

Al-Muhtadi berkata, "Saya lihat ayahku langsung berdiri dan masuk ke dalam haira, ia tertawa sambil menutup wajahnya dengan bajunya dan berkata, "Benar juga, tidak bisa tidak kita harus mengatakan, 'Mereka mengetahuinya' atau 'Mereka tidak mengetahuinya' Jika kita katakan, 'Mereka mengetahuinya! namun mereka tidak menyuarakannya.' Maka cukuplah bagi kita semua apa yang cukup bagi mereka, yaitu tidak menyuarakannya! "Jika anda katakan, 'Mereka tidak mengetahuinya! tetapi andalah yang mengetahuinya!' Sungguh celaka kita ini! Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Khulafaaur Rasyidin radhiyallahu 'anhum tidak mengetahuinya, sementara Anda dan rekan-rekan anda mengetahuinya!"

Kemudian ayahku berkata, "Hai Ahmad!", "Labbaika" jawabnya. "Bukan kamu yang saya maksud, tapi Ahmad bin Abi Duwad!" sahut ayahku. Maka Ibnu Abi Duwad pun segera mendatanginya. Ayahku berkata, "Berilah Syaikh ini nafkah dan keluarkanlah ia dari negeri kita!"

Dalam sebuah riwayat yang dibawakan oleh Imam Adz-Dzahabi dalam As-Siyar disebutkan, "...Maka jatuhlah pamor Ibnu Abi Duwad dalam pandangan ayahku, dan beliau tidak pernah lagi menguji orang dengan keyakinan sesat tersebut (keyakinan Al-Qur'an sebagai makhluk)!"

Dalam riwayat lain disebutkan, "Al-Muhtadi berkata, 'Sayapun insyaf dari keyakinan tersebut dan saya kira semenjak saat itu ayah sayapun insyaf darinya."

----------
Telah diriwayatkan dengan sanad yang tersambung oleh al-Ajurri dalam kitab Asy-Syari'ah hal. 91, dari beliau pula Ibnu Baththah meriwayatkannya dalam Al-Ibanah/Ar-Radd 'Alal Jahmiyah (452).
Diriwayatkan pula dari jalur yang lain oleh Ibnu Baththah dalam kitab tersebut (453), al-Khathib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad (IV/151-152), (X/75-79), Ibnul Jauzi dalam Manaqib Imam Ahmad (hal 431-432), Abdul Ghani al-Maqdisi dalam kitab Al-Mihnah (hal 169-174) dan Ibnu Qudamah dalam kitab At-Tawwabin (hal 210-215).
Baca Selengkapnya....